Saya menertawakan kebodohan saya karena menerima saja sebuah tafsir yang memuji-muji Yesus sebagai ahli public speaking dengan pengetahuan akustiknya. Katanya, Yesus memilih tempat yang paling bagus untuk bicara di depan banyak orang: di atas perahu pada siang hari, sehingga suaranya bisa terbawa angin dari danau ke daratan dan semua orang di daratan bisa mendengarnya. Jebulnya, ketika pergi ke tempat itu dan mencoba mendengarkan suara musik dan teriakan orang di atas perahu, suara angin di daun telinga saya lebih keras. Saya tak mendengar apa-apa dari perahu di tepi danau itu.
Tafsiran yang saya baca itu adalah sebuah eisegese, bukan eksegese. Eksegese berfokus pada kompleksitas teksnya (akar kata, asal-usul, arti, konteks, dll). Eisegese lebih condong sebagai pengembangan asumsi pembacanya. Khotbah atas dasar eisegese bisa sangat memikat hati, apalagi jika dibumbui banyolan atau puisi gombalnya. Yes, eisegese bisa menarik hati dan inspiratif, tetapi untuk melakukannya, orang tak perlu ambil Kitab Suci, cukup baca tulisan bokong bak truk, dan orang bisa omong panjang lebar dari sana.
Teks bacaan utama hari ini, seperti pada umumnya, tidak bisa diperlakukan seperti warta berita, sehingga kata kerja ‘duduk dan mengajar’ perlu diletakkan dalam konteks kisah lainnya. Misalnya, ada kisah bagaimana ia mengajar tidak seperti ahli agama lainnya. Ia mengajar dengan kuasa yang berbeda. [Jadi tak perlu ambil pusing apakah ia mengajarnya duduk atau jongkok.] Bagaimana berbedanya itu juga bisa dilihat dari yang terjadi selanjutnya: ia meminta Petrus untuk bertolak ke tempat yang dalam dan menebarkan jala.
Semua orang tahu, Petrus nelayan ahli. Sudah semalam-malaman pula ia mencari ikan tak dapat apa-apa. Tapi justru ‘semalam-malaman’ itulah persoalannya: Petrus hanya mengandalkan keahliannya sendiri. Bertolak ke tempat yang dalam dan menebarkan jala tidak mungkin lagi mengandalkan kekuatan sendiri. Dalam posting Tangkap Hidup2! sudah saya sodorkan bahwa pe er Anda dan saya adalah membawa orang lain pada hidup sejati. Saya tak tahu apakah Anda sudah mengerjakan pe er itu, tetapi beberapa waktu lalu saya sudah mengajak orang hidup ke Sejati, sebuah desa di Kulonprogo.
Di hadapan pe er besar itu, Petrus merasa begitu kecil. Tak sanggup rasanya ‘bertolak ke tempat yang dalam’ sebagaimana dimandatkan Yesus. Ini bisa jadi seperti perempuan yang menyentuh jumbai jubah Yesus yang kemudian ketakutan atas apa yang terjadi dalam dirinya. Ini bukan takut karena rasa salah, melainkan takut karena takjub, saking dahsyatnya keagungan ilahi itu sehingga orang bisa jadi gemetar. Berita kerennya, Petrus akhirnya meninggalkan segalanya dan mengikuti Yesus untuk membawa semakin banyak orang supaya pikiran, tuturan, dan tindakan kami membawa semakin banyak orang mengalami kehidupan sejati.
Apakah Petrus menanggalkan profesinya? Saya kira, sekali nelayan tetaplah nelayan, hanya motif dan tujuannya tak lagi sama: bukan semata cuan, melainkan membangun kehidupan. Profesi bisa tetap, cara, skop dan tujuannya berbeda. Semoga Anda dan saya diberi kekuatan untuk menemukan cara, skop dan tujuan yang lebih mulia daripada sekadar cuan. Amin.
HARI MINGGU PEKAN BIASA V C/1
9 Februari 2025
Yes 6,1-2a.3-8
1Kor 15,1-11
Luk 5,1-11
Posting 2022: Tangkap Hidup2!
Posting 2019: Jala Hidayah
Posting 2016: Rekayasa Perjumpaan
