Aja gumunan, aja kagetan, aja getunan, aja aleman. Ini ungkapan larangan dalam bahasa Jawa, sehingga kata aja sebaiknya jangan dilafalkan dengan gaya Betawi supaya tak jadi ungkapan Jawa yang dipaksa-paksakan jadi Sunda. Anyway, unang marsi sol-solan lah…. yang penting ngerti maksud ungkapan itu: jangan gampang keheranan, jangan gampang kaget, jangan gampang nyesel, jangan mudah manja. Tentu saja, sebagai nasihat, itu tak bisa berlaku universal sepanjang segala masa, pasti terikat pada konteksnya. Pada kenyataannya, banyak penemuan besar muncul karena penemunya mudah keheranan dan kagetan. Coba bayangkan, penemu hukum gravitasi itu penasaran karena apel jatuh; apa Anda dulu terheran-heran melihat buah jatuh dari pohon? Enggak, kan? Itu salah satu sebabnya Anda tak menemukan teori gravitasi. Sebab lainnya, teori itu sudah ditemukan lebih dulu oleh Isaac Newton.
Itu juga yang membuat saya tidak terpukau oleh aneka macam penemuan canggih. Biasa aja wong tinggal uji coba ini itu dan menemukan formulasi yang pas. Saya jauh lebih kepo terhadap bagaimana orang sampai pada penemuan canggih itu. Ini tidak mengurangi rasa terima kasih saya terhadap para penemu ini itu. Tidak juga hendak merendahkan pemenang lomba atau juara ini itu. Saya lebih berminat pada bagaimana mereka menemukan ini itu, memenangkan lomba ini itu, atau juara ini itu. Nah, kalau kemudian jelas bahwa kemenangannya ternyata karena faktor koneksi dengan penguasa, haiya apa yang perlu dikagumi? Siapa kuat dan cepat, dia dapat, bukan? Apa yang mesti saya kagumi dari hukum rimba?
Teks bacaan utama hari ini menyodorkan bagaimana Guru dari Nazareth melawan hukum rimba. Saya tidak membacanya secara letterleijk seakan-akan Yesus di penghujung masa puasanya diajak hang out oleh iblis dan disodori tiga opsi untuk menyulap batu jadi roti, mengklaim kekuasaan atas dunia, dan kemudian memosisikan diri sebagai Allah. Saya membacanya sebagai pergumulan manusia yang dalam usaha pencariannya senantiasa berhadapan dengan pilihan yang sifatnya sangat subtile, begitu halus, bukan lagi sekadar pilihan baik-buruk atau baik-jahat yang berasal dari dikotomi putih-hitam surga-neraka. Di sini, pilihannya adalah mana yang baik-buruk dan mana yang lebih baik-buruk lagi.
Guru Nazareth melawan hukum rimba dengan detachment: tidak ada produk manusia yang dapat mendikte Allah, dan karena itu, panggilan orang beriman tidak juga terlekat pada daftar perintah dan larangan, tetapi pada kesetiaannya untuk di setiap tempat di sepanjang waktu bertekun dalam panggilan dan kehendak Allah bagi ciptaan-Nya. Kesetiaan seperti ini tidak mungkin dipertahankan hanya dengan modal kompromi dan transaksi. Dengan modal itu, delapan puluh tahun merdeka pun tak ubahnya delapan puluh tahun terjajah; hanya ganti pemain di sana-sini dan warga biasa atau rakyat jelantah terus menerus dibuat naif untuk melihat jasa besar pemberi bansos.
Ironis memang, tetapi begitulah hidup yang tak tertambat pada identitas sejati sebagai ciptaan Sang Khalik. Alih-alih bertekun pada panggilan dan tujuan Allah mencipta, orang hendak mengambil alih peran Allah sebagai pencipta. Semoga Anda dan saya dibebaskan dari tendensi untuk merenggut kuasa Allah. Amin.
HARI MINGGU PRAPASKA I C/1
9 Maret 2025
Ul 26,4-10
Rm 10,8-13
Luk 4,1-13
Posting 2022: 17+
Posting 2019: Restless Temptation
Posting 2016: Cinta Satu Malam
