Tuhan macam manakah yang tidak menghukum pendosa berat? Apakah Tuhan seperti ini adil? Akan tetapi, apa iya sih Tuhan itu sungguh pernah menghukum atau malah mengasihi manusia?
Menjelang pertengahan abad ke-2 Masehi, jumlah penganut kekristenan bertambah besar, tetapi tidak dalam kualitas hidup mereka karena aneka ragam persoalan hidup dihadapi dengan adaptasi dan toleransi. Artinya, semua bisa cincailah, tak usah ribet dengan iman Kristen. Dalam konteks seperti ini, komunitas Kristen justru hendak menunjukkan identitas berbeda mereka: mesti lebih ketat dan rigid dalam norma moral dan jika orang tak mematuhinya, mereka langsung diekskomunikasi, dikeluarkan dari komunitas Kristen itu. Konon, ada tiga dosa berat yang bisa otomatis membuat orang Kristen terkena ekskomunikasi pada saat itu: menyangkal iman Kristen, membunuh sesama, dan berzinah.
Ada sih Paus yang lebih murah hati tetapi oleh jemaatnya sendiri justru dituduh membiarkan umatnya tak peduli dengan iman mereka. Pada masa itu juga muncul tulisan ‘Pastor Hermas’ yang kurang lebih seperti kumpulan insight mengenai discernment, pertobatan, pergumulan moral yang lama kelamaan populer sebagai pedoman praktis kekristenan. Dinamika kekristenan lalu memunculkan kelompok yang sangat rigid dan rigor berhubung dengan dosa dan pertobatan. Dengan pola pikir “boleh atau tidak boleh”, gak mungkin dong Yesus mengatakan “Aku pun tak menghukum engkau.”
Nah, teks bacaan utama hari ini memuat pernyataan itu dan itulah mengapa sampai abad ketiga teks bacaan ini tidak diterima dalam kanon Kitab Suci. Kelompok Kristen Yahudi garis keras ini tak mau kalimat yang keluar dari mulut Yesus kelak bikin iman jadi praktik cincai. Padahal, Yesus mengerti betul beratnya persoalan perzinahan sehingga kalimat yang dilekatkan pada mulutnya itu sama sekali tak mengentengkan persoalan. Sebaliknya, bagaimana Yesus menanggapi pertanyaan ahli Taurat dan orang Farisi juga menunjukkan betapa beratnya persoalan sehingga semua harus menaruh perhatian: baik si pezinah, yang mungkin bersemangat cincailah, maupun kaum rigid, yang maunya menyelesaikan persoalan dengan membasmi nyawa manusia.
Yesus tidak mengambil posisi lempar tanggung jawab dengan tameng gerombolan (dewan, majelis, tribunal, Sanhedrin, dll); ia mengundang baik perempuan maupun para persekutornya bertindak dengan prinsip keadilan yang berbasis kerahiman ilahi. Tidak ada kepastian bahwa tendensi korup akan hilang jika nyawa koruptornya dihabisi; tetapi koruptor senantiasa diminta untuk menyadari beratnya persoalan yang ditimbulkannya. Di sini, Yesus tampak berupaya menyodorkan kualitas kerahiman ilahi, yang kalau mengkritik ya berarti mengkritik semua, yang kalau mengasihi ya berarti mengasihi semua. Tolok ukurnya bukan like-dislike atau self-interest, melainkan kesejahteraan bersama dalam pencarian apa yang dikehendaki Allah bagi semua.
Semoga Anda dan saya dijauhkan dari mentalitas rigid atau cincai dalam pencarian kehendak Allah. Amin.
HARI MINGGU PRAPASKA V C/1
6 April 2025
Yes 43,16-21
Flp 3,8-14
Yoh 8,1-11
Posting 2022: Mati Deh Gue
Posting 2019: Lu Gue Batu Tulis
Posting 2016: Isih Kepenak Jambanku Toh?
