Minggu lalu dikutipkan penggalan kisah Kitab Suci (Kitab Suci kok dipenggal sih) kekesalan orang-orang Farisi dan ahli Taurat terhadap gambaran Allah yang dibawa Guru dari Nazareth: alih-alih menghukum pendosa, malah mengajaknya pesta! Minggu ini dikisahkan bagaimana mereka menemukan umpan untuk menantang ajaran Sang Guru: perempuan yang tertangkap basah berzinah (mungkin di sungai atau laut). [Seperti biasa, setiap posting di blog ini pada umumnya mengandaikan pembaca sudah membaca lebih dulu tautan teksnya yang ada di bawah] Tampaknya mereka tak tertarik pada pelaku laki-lakinya, tapi bahkan juga terhadap perempuan ini, karena yang penting bukan perzinahannya, melainkan pokoknya dapat umpan untuk menjebak Sang Guru! Mereka benar-benar mau menantang gambaran keadilan Allah yang diproklamasikan Yesus dari Nazareth dengan kasus konkret ini. Jadi, sekurang-kurangnya ada dua versi tindakan keadilan yang disodorkan teks hari ini: yang disodorkan Guru dari Nazareth dan yang menentangnya.
Namanya ahli Taurat, ya mesti ngerti bahwa dalam Kitab Imamat (20,10) dikatakan “Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu.” Saya tak berburuk sangka pada ahli Taurat dan orang-orang Farisi karena mereka hanya membawa perempuannya. Bisa jadi laki-lakinya lebih cekatan untuk kabur, tak merasa perlu dandan dulu sebelum ditangkap. Pokoknya, bagi kedua kaum itu, perzinahan ini jadi bahan untuk melihat keadilan Allah macam mana yang benar-benar diwartakan Yesus dari Nazareth untuk menangani kasus moral begini.
Perempuan yang mungkin tertangkap di sungai atau laut ini mestinya malu setengah mati karena jadi pusat perhatian. Mungkin juga dia sedikit takut karena kegaduhan di sekelilingnya, tapi tampaknya tak takut oleh keterangan ahli Taurat bahwa perempuan pezinah ini mesti dilempari batu sampai mati. Kenapa? Menurut ahli Kitab Suci, pada kenyataannya tidak ada hukuman mati dalam konteks perintah Kitab Suci; dalam teks-teks penguat tesis ini diperoleh keterangan bahwa mahkamah agama Yahudi, dewan tertinggi keagamaan, hanya mengeluarkan satu putusan hukuman mati setiap 70 tahun sekali, yang juga tak ada follow upnya.
Satu hukuman mati dalam 70 tahun dan tak ada follow up. Gimana jal?
Jika Taurat memberlakukan hukuman mati, rupanya bukan perkara hal yang harus dilakukan begitu, melainkan putusan bahwa perkaranya begitu amat sangat berat sekali banget sehingga cuma bisa diselesaikan dengan kematian! Akan tetapi, orang-orang itu juga tahu bahwa hak mencabut hidup manusia tidak ada pada manusia lainnya, tetapi pada Allah.
Dengan begitu, Hukum Taurat yang menyinggung-nyinggung hukum mati, sebenarnya adalah pengingat pada beratnya kasus yang dilakukan orang. Kira-kira seperti kalau Anda bereaksi”Mati dah gua!” dan Anda masih terbengong-bengong di hadapan kepala sekolah. Orang mati tak bisa terbengong-bengong!
Yesus yang ditantang ahli Taurat dan orang Farisi menunjukkan keadilan Allah bukan dari perspektif hukum menghukum, melainkan dari kecintaannya kepada semua, baik yang merasa berdosa maupun yang merasa saleh. Beliau hendak menyelamatkan si perempuan, yang tentu disayanginya sebagai pendosa, tetapi juga menyelamatkan kerumunan orang bersama ahli Taurat dan orang Farisi itu. Caranya?
Langkah pertamanya: diam. Maksudnya, memberi kesempatan semua orang, kerumunan di situ, untuk menarik perhatian bukan pada si perempuan. Trus, Yesus caper gitu? Bukan. Beliau mengondisikan supaya semua melepaskan diri dari mentalitas kerumunan, kembali berhadapan dengan diri sendiri di hadapan Allah, mawas diri, refleksi, atau apa lagi istilahnya. Dalam momen hening itu orang sewajarnya menanyai diri soal banyak hal: apa yang terjadi pada perempuan ini, latar belakangnya, nasibnya, kesalahannya, kerugian yang diakibatkannya bagi orang lain, dan sebagainya. Akan tetapi, rupanya tidak semua orang mampu atau mau mawas diri; tetap saja nyaman dengan mentalitas kerumunan, lalu mendesak Yesus supaya segera bertindak.
Pada momem itu, Yesus meminta lagi mereka untuk berefleksi, mikir-mikir: kalau aku menyingkirkan perempuan ini, apakah aku sendiri tidak layak disingkirkan (karena sebenarnya aku pun pendosa)? Dengan begitu, sebenarnya Yesus juga mengundang orang supaya mengambil tanggung jawab atas hidup bersama maupun hidup pribadinya; bukannya cari aman di bawah payung gerombolan, partai, minyak goreng, pertamax dan sebagainya.
Alhasil, keadilan yang dasarnya singkir-singkiran itu rupanya tak bertahan lama. Satu per satu ngeloyor pergi, dan umpan orang Farisi dan ahli Taurat itu muspra.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya hidup kami boleh jadi keadilan-Mu bagi kemanusiaan. Amin. Amin.
HARI MINGGU PRAPASKA V C/2
3 April 2022
Yes 43,16-21
Flp 3,8-14
Yoh 8,1-11
Posting 2016: Isih Kepenak Jambanku Toh?
Categories: Daily Reflection