Penemu Tuhan

Anda tahu siapa penemu mesin cetak dan mesin uap. Begitu pula penemu sandi morse atau bahan jeans. Biasanya hanya satu orang yang disebut sebagai penemu masing-masing barang tadi. Yang penemunya beberapa atau banyak orang ialah cuan dan Tuhan. Saya dulu kerap nemu uang di dompet emak saya (tentu uang recehan). Saya juga pernah menemukan Tuhan, sering malahan (sering luput jadi tuhan, kiranya). Yang terakhir inilah yang bikin runyam sampai sekarang; bukan hanya untuk saya, melainkan juga untuk para penemu Tuhan yang ada di berbagai belahan dunia ini. Kenapa runyam? Karena ‘Tuhan’ yang saya dan mereka temukan itu cara berpikirnya persis seperti yang saya dan mereka pikirkan! Lha kok malah jadi saya dan mereka yang menciptakan ‘Tuhan’ ya?

Kisah hari ini adalah narasi konfrontatif antara Guru dari Nazareth dan para penemu ‘Tuhan’, yaitu orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Pemicunya ialah bahwa Sang Guru berpesta bareng pendosa. Bagaimana seteru itu dihadapi Sang Guru? Blio keluar dan menceritakan perumpamaan. Anda tahu, perumpamaan tidak memaksa-maksakan kebenaran, tetapi membidaninya keluar dari dalam diri orang yang mau mendengarkannya. 

Awal perumpamaan mengisahkan anak bungsu yang meminta warisan dari bapaknya (masih mending sih dari bapaknya sendiri). Itu artinya si bungsu menganggap bapaknya lebih baik mati aja (dan begitulah mungkin kaum ateis berpikir)  karena cuma bikin hidupnya gak bebas, hidup penuh keterpaksaan karena perintah ini itu dan larangan ini itu. Di balik pikiran itu ada asumsi bahwa si bapak adalah penghambat kebebasannya. Sebagaimana si bungsu menangkap citra bapaknya sebagai mandor atau bos otoriter, begitulah manusia zaman now menganggap Tuhan sebagai pribadi yang harus dipatuhi atau ditaati. Alhasil, perintah dan larangan tak pernah dipahami sebagai jalan cinta Tuhan: menaati  Tuhan karena takut dihukum!

Guru dari Nazareth tidak mengajarkan supaya manusia menaati Allah, tetapi supaya menyerupai-Nya dengan menghidupi sifat-sifat-Nya. Di mana tidak bebasnya, jal?
Lha ya ‘supaya menyerupai Allah’ itu tadi, Rom, kan saya mau menyerupai yang lain!
Lha yang memaksa ya siapa? Itu kan ‘cuma’ jalan yang disodorkan supaya orang bisa mencecapi kebahagiaan karena bisa jadi diri autentik. Alhasil, menaati perintah dan larangan, tidak pernah dimaksudkan supaya orang terhindar dari hukuman, entah di dunia sini atau dunia sana. Anda tidak membunuh bukan karena bakal diembargo atau disanksi NATO dan kawan-kawannya, melainkan karena membunuh bikin Anda jadi monster, bukan lagi manusia, gitu kan?

Ini sudah terlalu panjang. Kalau Anda sempat, silakan baca misalnya tulisan jurnalis Mustafa Akyol berjudul Reopening Muslim Minds: A Return to Reason, Freedom, and Tolerance. Mungkin Anda akan mendapatkan contoh bagaimana para penemu ‘Tuhan” lebih terfokus pada proper behaviour daripada proper belief dan di balik itu ada gambaran tentang Allah yang gemar keseragaman lebih daripada keragaman, lebih krasan dengan yang formal daripada yang substansial, lebih enjoy dengan rule through law daripada rule of law, dan seterusnya.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami sungguh dapat bertobat dan bahagia karena cinta-Mu daripada karena keyakinan-keyakinan semu yang kami temukan sendiri. Amin.


HARI MINGGU PRAPASKA IV
Minggu Laetare
27 Maret 2022

Yos 5,9a.10-12
2Kor 5,17-21
Luk 15,1-3.11-32

Posting 2016: Agama Intoleran