Entah Anda beriman atau tidak, matahari ya terbit dari timur. Jadi, entah Anda berdosa atau tidak, matahari pun tetap terbenam di sebelah barat. Matahari terbit-tenggelam bisa diganti dengan kejadian alamiah lainnya, entah suatu keajaiban yang memukau atau bencana yang bikin merana. Kalau begitu, secara logika saja, tidaklah benar bahwa musibah adalah hukuman Allah secara langsung terhadap mereka yang bersalah. Akan tetapi, cobalah simak ada gak pengkhotbah atau pemuka agama yang mengajarkan paham Allah sebagai hakim penghukum.
Lha bukannya Guru dari Nazareth juga ngajarin gitu, Rom? Di teks bacaan hari ini terkutip begitu kok,”Kalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.” Konteksnya kan ada orang yang lapor mengenai orang-orang Galilea (yang mungkin bikin onar atau memberontak penguasa asing) yang kiranya terbunuh dan darahnya dicampur dengan darah korban persembahan dewa-dewa mereka. Ini penghinaan menjijikkan. Orang-orang itu mesti berdosa. Nah, pesan Guru dari Nazareth kan gitu: kalau kalian berdosa, tak bertobat, bakal celaka kek gitu! Gimana tuh, Rom? Gimana Romo mau mempertanggungjawabkan bahwa tak ada hubungan antara dosa dan aib atau hukuman bin azab?
Wah gimana ya, mosok Anda yang berdosa, saya yang mempertanggungjawabkannya?🤭
Bencana itu bisa menimpa siapa saja, seperti hujan dan matahari terbit tenggelam tadi. Kalau terjadi bencana, tak usahlah orang tenggelam pada persoalan dosa dan kesalahannya. Sekadar evaluasi tentu oke, barangkali karena lalai mematikan kompor, ceroboh menyambungkan kabel, serakah menggali tanah, dan sebagainya. Akan tetapi, kelalaian, kecerobohan, keserakahan, itu bisa jadi menimpa siapa saja. Jadi, apa gunanya di hadapan bencana terus menerus menyalahkan diri? Bukankah lebih baik bertindak memperbaiki situasi?
Persis itulah pertobatan: bertindak supaya muncul buah baiknya. Tak mengherankan, Guru dari Nazareth memberi perumpamaan tentang pohon ara yang sudah tiga tahun tak menghasilkan buah. Ada dua sikap ditunjukkan di situ. Yang pertama, “Tebang aja!” Yang kedua, “Setahun lagilaaa…” Sikap pertama lebih cocok untuk mereka yang memelihara paham Allah penghukum. Sikap kedua yang disodorkan Guru dari Nazareth: Allah senantiasa memberi kesempatan bagi orang untuk menghasilkan buah, membawa berkah, memantik hati bungah. Itulah pertobatan.
Kalau tidak, ya orang binasa dalam aneka kejadian yang bisa menimpa siapa saja tadi, termasuk kematian. Betapa singkat hidup ini. Tanpa pertobatan, ya memang orang hidup dalam kebinasaan; belum sempat menebar benih kebaikan Sabda Allah, tahu-tahu jantungnya berhenti bekerja. Jadi, pembedanya ya ‘cuma’ di situ. Dua orang bisa tahu-tahu mati bersamaan, tetapi bisa jadi yang satu dalam keadaan jiwanya bahagia dengan asa cinta karena pertobatannya, yang lainnya binasa. Tinggal pilih.
Tuhan, mohon rahmat kesadaran akan extra-time panggilan cinta-Mu supaya pertobatan kami sungguh membuahkan hasil yang menentramkan jiwa. Amin.
HARI MINGGU PRAPASKA III C/2
20 Maret 2022
Kel 3,1-8a.13-15
1Kor 10,1-6.10-12
Luk 13,1-9 bdk. posting 24 Oktober 2015: Awas Kabut Azab
Posting 2016: Dua Model Keberdosaan
Categories: Daily Reflection