Hukum Rimba

Saya tidak tahu mengapa dalam bacaan liturgi Gereja Katolik Indonesia hari ini, frase keterangan waktu ‘delapan hari sesudah segala pengajaran itu’ tidak dicantumkan. Tentu saja, sebagai sebuah cerita, frase itu langsung menimbulkan tanda tanya: emang apa sih segala pengajaran itu? Kan wagu juga, baru saja mau mulai cerita kok langsung ada yang tunjuk jari menanyakan frase keterangan; itu kan gak penting, bukan bagian utama alias kernelnya!

Tapi, memangnya juga kenapa kalau ada pertanyaan itu? Bukankah itu malah bisa membantu pembaca memahami konteks ceritanya? Kalau tak paham konteks, bisa jadi orang menangkap kata tapi maknanya tak terungkap. Kalau makna tak terungkap, menjalani hidup pun jadi tergagap-gagap. Tapi mungkin sebagian orang memilih tergagap-gagap dalam hidupnya ya…

Teks bacaan dari Injil Lukas ini selalu ditempatkan pada hari Minggu Prapaska II. Untuk apa? Untuk membekali pembacanya dengan kaca mata atau bingkai yang cocok untuk memahami bacaan-bacaan selanjutnya mengenai kisah sengsara Yesus; orang baik, bijak, murah hati, dan penuh cinta, yang akhirnya menanggung sengsara, pun kalau ujungnya kebangkitan atau versi lain mengatakan ia tak jadi mati. [Mengenai versi ini, tak perlu diperdebatkan, tinggal bungkus saja karena yang penting bukan bungkusan mana yang Anda pilih, melainkan bagaimana bungkusan itu membuat Anda tak tergagap-gagap dalam hidup.]

Kenapa orang baik ini menderita? Karena mencuri, bohong, tidak patuh pada orang tua, dan seterusnya? Bukan! Karena dia mau ‘mengubah dunia’! Lha coba dihitung saja berapa persen orang di dunia ini yang mau berubah; relatif gak banyak! Ya hanya orang-orang yang mau menanggung derita demi perubahan itu. Dari mana deritanya ya? Ya dari mereka yang tak mau menanggung derita demi perubahan dong! Dalam kasus Yesus, agenda perubahannya itu menohok penguasa religius, yang berkongkalikong dengan penguasa negara juga. Nah, kalau agama dan negara berkolusi, tamat riwayat loe karena bakal berlaku hukum rimba; yang dikenang yang menang, yang ditaati yang kuat, yang lemah seperti sepah.

Nah, hukum rimba macam beginilah yang rupanya didiskusikan Yesus kira-kira delapan hari sebelumnya. Delapan hari tidak perlu dihitung 8 x 24 jam karena untuk jemaat Kristiani awal itu ‘hanyalah’ angka reminder Paska, saat komunitas berkumpul untuk mendengarkan Sabda dan memecah-mecahkan roti: ‘naik gunung’ untuk melihat wajah Yesus yang bertransfigurasi, untuk kemudian ‘turun gunung’ dan mengalami hidup biasa (yang biasa susah ya tetap susah seperti saya) dengan modal luar biasa dan tak usah tergagap-gagap dengan hukum rimba sehingga terlindas olehnya. 

Ya Tuhan, mohon rahmat keberanian untuk berjalan dalam rimba cinta-Mu. Amin.


HARI MINGGU PRAPASKA II C/2
13 Maret 2022

Kej 15,5-12.17-18
Flp 3,17-4,1
Luk 9,28b-36

Posting 2016: Hidup sebagai Hadiah