Orang jahat takkan mau membaca blog ini (kurang kerjaan keleus). Pembaca blog ini mestilah, sekurang-kurangnya, punya keinginan untuk bermoral baik, tetapi eling bahwa blog ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk memberi nasihat-nasihat moral. Untuk bermoral baik, orang tak harus beragama. Saya harap itu jelas dari posting Agama Tak Menjamin Moral; Ngapain Beragama?
Saya cuma mengikuti apa yang dibuat Orang Gila dari Nazaret: dia tak berpretensi memperbaiki moralitas orang-orang Yahudi, baik yang terpandang dalam agama maupun yang dipandang najis dan berdosa berat. Dengan perumpamaannya yang dibacakan hari ini, ia mau menguak paham Allah yang belum diterima banyak orang, sampai sekarang ini. Masih ada sebagian orang yang keliru membaca teks ini karena gagal fokus. Yang diingat cuma anak bungsu durhaka yang kembali kepada bapaknya, seolah-olah ceritanya berhenti di situ (dan mengambil pesan moral: makanya jangan jauh-jauh dari bapak, jangan kurang ajar, songong, jangan durhaka ntar kualat, dan nasihat moral sejenisnya deh).
Perumpamaan itu diletakkan dalam konteks Yesus berhadapan dengan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang bersungut-sungut karena Yesus menerima para pendosa. Mengingat protagonisnya adalah ayah yang baik hati itu, anak bungsu dan sulung hanyalah representasi dua tendensi keberdosaan manusia. Anak bungsu adalah representasi mereka yang menjauh dari Allah, kafir, atau para pendosa. Anak sulung adalah representasi kelompok Farisi dan ahli Taurat. Yesus hendak menampilkan wajah Allah yang tak pernah dipikirkan orang saat itu, bahkan tak bisa dipikirkan sebagian (besar) kepala manusia modern: Allah yang kemurahhatian-Nya menjungkirbalikkan kriteria manusiawi.
Jika kita kontemplasikan narasi ini, bisa kita temukan alasan si bungsu pergi justru dari kemarahan si sulung kepada ayahnya: Telah bertahun-tahun aku melayanimu dan belum pernah aku melanggar perintahmu, tetapi kepadaku belum pernah kauberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anakmu yang telah memboroskan harta kekayaanmu bersama dengan para pelacur, engkau menyembelih anak lembu tambun itu untuknya!
Si bungsu tak krasan bertahun-tahun jadi pelayan bapaknya yang punya aneka aturan. Ini bos pekerja yang sadis seperti monster. Lebih baik kabur saja, melepaskan diri dari beban berat, menghirup udara bebas sesukanya! Inilah gambaran si bungsu terhadap ayahnya, sama seperti gambaran si sulung. Bahkan gambaran itu tetap dipelihara saat ia kembali kepada ayahnya. Ia hendak jadi pekerjanya saja. Ia tak punya gambaran sebagai anak dari ayahnya.
Si ayah bukannya gak tahu bahwa anaknya baru tobat perut. Meskipun demikian, ia tetap berinisiatif menyambut anak bungsu ini dan memestakannya. Inilah sikap murah hati yang ditentang oleh anak sulungnya. Si sulung bukannya jahat, tetapi begitu intoleran. Persis itulah yang hendak dikritik Yesus: paham Allah yang begitu intoleran. Celakanya, sikap intoleran itu malah dilanggengkan oleh orang beragama, yang nota bene bukan orang jahat loh! Kenapa ya orang semakin taat beribadah bukannya semakin toleran, malah tambah fanatik, diskriminatif? Paham Allah macam apa yang dipeliharanya?
Ya Allah, semoga semakin dekat dengan-Mu, semakin murah hati pula kami terhadap apa yang berbeda, tanpa jatuh pada dosa si bungsu. Amin.
HARI MINGGU PRAPASKA IV C/2
Minggu Laetare
6 Maret 2016
Yos 5,9a.10-12
2Kor 5,17-21
Luk 15,1-3.11-32
Posting Minggu Prapaska IV B/1 2015: Allah yang Rentan
Posting Minggu Prapaska IV A/2 2014: The Primacy of The Heart
Categories: Daily Reflection