Tiada orang paham Allah Tritunggal tanpa cinta karena hanya dengan cintalah misteri Allah dinyatakan.
Berarti, orang-orang Kristen yang milyaran jumlahnya itu hidupnya penuh cinta ya, Rom; tapi kenapa dunia ini malah amburadul ya?
Bukan begitu kesimpulannyalah, melainkan: sebagian besar dari mereka tidak memahami Allah Tritunggal.
Hampir dua dekade lalu saya bertemu seorang mahasiswi program doktoral di Eropa. Berjilbab seturut kebiasaanya di Aljazair. Yang mendorongnya pergi dari Aljazair dan belajar filsafat di Eropa ialah rasa penasarannya atas perubahan yang terjadi di kampungnya pada era 90-an ketika didapatinya anak-anak laki muda diangkut truk. Beberapa bulan kemudian, mereka kembali ke kampungnya dan terlibat dalam keributan dan membunuh orang tua mereka sendiri seturut perintah Alquran.
Tentu saja, kawan saya ini, yang tak bisa diragukan keislamannya, campur aduk perasaannya dan protes: bagaimana mungkin Alquran yang digumulinya dan diyakininya sebagai tuntunan hidup yang luhur malah jadi dasar terorisme?
Singkat cerita, ia dibantu oleh seorang uskup untuk studi di Eropa sampai jenjang doktoral. Yang menarik perhatian ialah bahwa kawan saya, muslim yang sangat taat ini, mengambil studi filsafat dan disertasinya berfokus pada tokoh pemikir abad V: Augustinus.
Memang Augustinus filsuf, tetapi filsafatnya tak pernah lepas dari pemikiran teologinya; dan saya penasaran bagaimana kawan saya ini bisa-bisanya bergumul dengan teks-teks Augustinus. Waktu itu saya tidak ingat bahwa Augustinus berasal dari Thagaste, Aljazair, negeri kawan saya ini. Saya pikir, ia akan terganjal dengan pemikiran teologis Augustinus dalam filsafatnya; dan ketika pertanyaan itu dilontarkan kepadanya, ia menjawab kira-kira begini: dari sekian traktat Augustinus yang saya baca, saya benar-benar bingung dengan uraiannya mengenai Trinitas.
Tanpa ragu, saya berkomentar: jangankan kamu, saya yang setiap tahun merayakan Allah Tritunggal pun tidak paham!
Yes, sebagai korban modernisme, semua saya pikirkan dengan kategori subjek-objek, dan Trinitas saya perlakukan sebagai objek yang harus tunduk pada otak saya. Sayangnya, cinta punya logika sendiri yang tak hanya mengandalkan otak, tetapi juga relasi. Perspektif relasi inilah yang kerap absen juga dari kebanyakan umat Kristen ketika berhadapan dengan Allah Tritunggal. Akibatnya, tanpa pengetahuan sejarah doktrin, orang hanya bisa ngotot bin keukeuh dengan opini dan keyakinannya sendiri dalam wujud fanatisme yang sama sekali tak berfaedah bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Saya menyodorkan keyakinan saya tetapi tidak untuk berpolemik: perayaan Allah Tritunggal itu justru menegaskan prinsip tauhid yang digaungkan Alquran karena di situ ditegaskan bahwa tak satu pun unsur kehidupan ini yang berdiri di luar relasi dengan Allah, yang oleh Yesus disebut Bapa, yang mengutus Roh Kudus-Nya kepada manusia, termasuk Yesus sendiri, yang kemudian disebut Putra Allah, supaya kembali kepada Allah yang satu itu.
Kerapuhan cinta manusiawi membuat orang sulit melihat relasi Trinitas karena bertendensi mencari kemuliaan diri sendiri alih-alih mencari kemuliaan Allah. Tidak ada orang yang orientasinya mencari kemuliaan diri dapat mengubah subjek dari ‘aku’ menjadi ‘kita’, bahkan jika dia menikah secara Katolik. Sekali ‘aku’ tetap ‘aku’ dan tidak ada Allah dalam relasi narsisistik ini.
Tuhan, mohon rahmat untuk menyingkap wajah-Mu dalam relasi kami dengan sesama. Amin.
HARI RAYA TRITUNGGAL MAHAKUDUS C/1
Minggu, 15 Juni 2025
Ams 8,22-31
Rm 5,1-5
Yoh 16,12-15
Posting 2022: Miskin Harga Diri?
Posting 2019: Menuhan
Posting 2016: Susahnya PDKT
