The tragedy of man is that he so easily relativizes God in terms of himself and absolutizes his own creations. DeepL Translator menerjemahkannya begini: Tragedi manusia adalah bahwa ia dengan mudah merelatifkan Tuhan dalam kaitannya dengan dirinya sendiri dan mengabsolutkan ciptaannya sendiri. Artinya, manusia mempertuhankan dirinya sendiri. Itulah tragedinya, yang dimulai sejak Adam dan Hawa sampai tren neurosains belakangan ini. Sebagian ahli tren ini dengan rendah hati mengakui bahwa ada ranah yang tak terpetakan oleh neurosains. Sebagian lainnya mengklaim bahwa itu hanya soal waktu saja.
Judul posting kemarin, Nurani, adalah klaim saya tentang ranah yang tak terpetakan neurosains. Konon, kuda tak bisa menunggangi punggungnya sendiri dan gigi tak bisa menggigit dirinya sendiri. Akan tetapi, ya itu tadi, tragedi manusia ialah bahwa ia mau merelatifkan yang mutlak dan memutlakkan ciptaannya sendiri, pikirannya sendiri. Mengikuti nurani bukanlah pilihan populer pada zaman yang hampir segala-galanya bisa dikendalikan otak manusia dan anjuran teks bacaan utama hari ini mengingatkan hal itu: Anda dan saya diutus seperti anak domba ke tengah-tengah serigala yang dengan mata liarnya siap memangsa. Problemnya, serigala itu tidak selalu berarti yang ‘di luar sana’, tetapi juga potensi predator ‘di dalam sini’ dan hanya orang yang tulus dan cerdik dapat menangkap keculasan tren predator.
Jika neurosains berhasil memetakan kinerja jaringan syaraf pada otak manusia dan menyediakan bukti kuat bagaimana pikiran, emosi, perilaku, dan kesadaran bergantung pada kinerja otak itu, barangkali yang saya sebut nurani tadi punya pijakan yang tak sepenuhnya biologis. Kalau begitu, mengambil keputusan atas dasar nurani memang bukan pilihan populer karena bisa jadi bertentangan dengan tren biologis. Itu mengapa sesungguhnya orang beragama tak perlu bertele-tele dengan argumentasi yang canggih mengenai misalnya monogami (atau poligami), seakan-akan itulah yang mutlak.
Aneka larangan dan perintah agama pun tak perlu dibela mati-matian seakan-akan, misalnya, babi pada dirinya dikutuk Allah atau kekayaan berlimpah pada dirinya adalah berkat Allah, dan seterusnya. Saya menghayati ketaatan kepada pembesar bukan karena superior saya makhluk sempurna tiada salah, melainkan karena saya menghidupinya sebagai niat dan komitmen untuk berusaha berpegang pada apa yang dikehendaki Allah; dan apa yang dikehendaki Allah itu rupanya tak tertanam begitu saja dalam jaringan syaraf otak, melainkan eksis dalam koneksinya dengan nurani.
Memang, mengikuti nurani tampak seperti kehilangan tetapi pada kenyataannya, seperti cerita kemarin, orang mendapatkan kebahagiaan berlimpah yang tak terbeli dengan uang. Anda boleh saja secara bercanda atau serius berpikir bahwa uang sedikit tak bisa membeli kebahagiaan karena toh, seperti ditunjukkan neurosains, rasionalisasi datang dari kinerja syaraf otak yang tendensi dasariahnya adalah survival. Mengikuti nurani memang tidak selalu sinkron dengan survival tetapi komitmen padanya memang membahagiakan.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan-Mu yang membebaskan kami dari semangat predator. Amin.
JUMAT BIASA XIV C/1
PW S. Benediktus, Abas
11 Juli 2025
Jumat Biasa XIV C/1 2019: Phronesis
Jumat Biasa XIV A/1 2017: (Sate) Kambing Tua
Jumat Biasa XIV B/1 2015: Berani Nekat?
