Privat

Published by

on

“Tidak ada sesuatu pun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui.” Versi Inggrisnya “Nothing is covered up that will not be uncovered, and nothing secret that will not become known.” Bagaimana kita memahami pernyataan itu sangat bergantung pada beberapa faktor yang hidup dalam diri kita. Mungkin juga bergantung pada apa yang sedang kita tutup-tutupi atau sembunyikan, baik dengan label meluruskan sejarah maupun dengan dalih rekonsiliasi.

Yang menjadi concern saya sekarang ialah dampak individualisme bagi cara berpikir orang. Tak perlu jauh-jauh kita lekatkan label individualis terhadap kultur Barat. Di tanah negeri kita ini bisa jadi label itu hanya absen menjelang gerakan bersama melawan kolonialisme, tetapi pelan-pelan tumbuh subur pada masa kolonialisme baru. Memang begitulah ironi Pancasila. Ia dibangun dalam paradigma gotong royong, tetapi ditafsirkan dalam semangat individualisme. Abstrak, bukan?

Begini yang konkret: Anda sepakat membuat koperasi bersama teman-teman yang sevisi dengan Anda. Koperasi berjalan sangat baik dengan Sisa Hasil Usaha yang luar biasa. Semua senang dan bisa hidup tenang sampai bendahara koperasi dan satpamnya melarikan seluruh kekayaan koperasi. Usaha bersama dengan suka dukanya mencapai titik duka ketika beberapa gelintir orang hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri. Jika gelintir orang itu disebut oligarki, itu sudah. Yang lain-lainnya hanya akan jadi keset selamat datang.

Individualisme tidak hanya membahayakan gotong royong dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam hal religi. Pandangan itu tampak misalnya dalam praktik pemisahan antara agama dan negara, yang bisa jadi merupakan salah tafsir atas teks “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar, dan kepada Allah yang menjadi hak Allah.” Tak usah terlalu jauh bahas agama-negara juga, kita bisa menengarai mentalitas individualis itu pada upaya privatisasi agama.
Lha iya dong Rom, kalau agama tak diprivatisasi dan dipublikasi, bisa amburadul ini negara!
Lha iya amburadul kalau publikasinya dijalankan dengan mentalitas hukum rimba seakan-akan ada agama yang paling benar di atas agama-agama lainnya.

Ada jenis publikasi agama yang membuat kalimat pertama posting ini menjadi bermanfaat: menghidupi agama sebagai jalan untuk semakin memahami diri dan sekaligus membuat orang beragama lain dapat menalarnya demi visi publik. Misalnya, tiada guna bagi saya memperdebatkan mengapa daging babi tidak tergolong kosher bagi agama Yahudi berikut alasan-alasannya. Akan tetapi, saya bisa menerimanya sebagai sesuatu yang masuk akal seperti kaum religius dalam agama saya menjalani selibat, misalnya. Poinnya bukan bahwa daging babi atau perkawinan adalah sesuatu yang salah, melainkan bahwa dua hal itu dapat dipakai orang beragama untuk menghayati komitmennya kepada Tuhan yang mereka imani, yang juga tidak harus ditafsirkan sebagai Tuhan yang berbeda.

Nah, nanti persoalannya muncul ketika konflik kepentingan masuk, dan di situlah orang perlu jujur bahwa problemnya tidak bersifat teologis, melainkan ekonomis. Supaya kelihatan mantabs, mesti ada argumentasi teologisnya dong. Muncullah para pembela agama dan, bahkan, Tuhan. Padahal, ini perkara perut, survival.

Tuhan, mohon rahmat keterbukaan terhadap cinta-Mu yang Kau tawarkan lewat jalan-jalan lain. Amin.


SABTU BIASA XIV C/1
12 Juli 2025

Kej 49,29-32;50,15-24
Mat 10,24-33

Sabtu Biasa XIV C/1 2019: Jangan Jangan Takut Takut
Sabtu Biasa XIV A/1 2017: Persekusi
Sabtu Biasa XIV B/1 2015: Transparan Itu Sesuatu

Previous Post
Next Post