Jika agama sungguh menyambut Allah sebagai junjungannya, tiada lagi diskriminasi atas dasar kalkulasi manusia yang dapat bertahan. Teks bacaan utama hari ini sangat simbolik; tidak mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan seorang perempuan yang iri hati karena saudaranya hanya duduk-duduk ngobrol sedangkan dia sibuk-sibuk menyiapkan sajian bagi tamu.
Bahwa seorang laki-laki bertandang ke rumah dan disambut oleh perempuan, itu sudah menunjukkan gerakan revolusioner Yesus karena kultur mediterania saat itu tidak memungkinkan seorang perempuan menyambut tamu di depan rumah. Itu privilese laki-laki, kepala keluarga. Tambah lagi, memang rumah Marta itu rupanya bukan rumah keluarga dengan kepala keluarga laki-laki; ini adalah simbol komunitas yang cuma ada status persaudaraan. Tidak ada lagi status kepala keluarga, bahkan murid-murid yang datang bersama Yesus hanya disebut di awal, tidak masuk dalam kisah utama.
Poinnya ialah komunitas beriman itu menjadikan Sabda Allah, dalam istilah teknisnya keadilan sosial, sebagai pijakan. Altrimenti binti otherwise, status quo menjadi utama dan karenanya semua bisa jadi kebolak-balik, bahkan lembaga hukum sekalipun. Dalam hal seperti ini, keadilan sosial: Bon voyage!
Tuhan, mohon rahmat untuk mendengarkan seruan-Mu di tengah kesibukan proyek hidup kami. Amin.
MINGGU BIASA XVI C/1
20 Juli 2025
Kej 18,1-10
Kol 1,24-28
Luk 10,38-42
Posting 2022: Yang Tuhan Butuhkan
Posting 2019: Ramah Mamah
Posting 2016: Laris tapi Tak Bermakna
