Ramah Mamah

Saya pernah punya promotor (bukan tinju) yang adalah juga seorang biarawan. Ada satu bunyi pedoman hidup biaranya yang menarik: semua tamu yang berkunjung ke biara hendaknya diterima seperti Tuhan sendiri sebagaimana tertera dalam Kitab Suci,”Ketika Aku seorang asing, engkau memberi Aku tumpangan.”

Saya berasa jadi seperti Tuhan ketika bertamu ke biaranya meskipun tidak disuguhi apa-apa. Beliau sungguh mendisposisikan dirinya untuk membantu saya sebisa mungkin sampai akhirnya beliaulah yang memberi saran saya untuk menghentikan proyek studi di negeri Monica Bellucci. Kalau beliau tak memperlakukan saya sebagai Tuhan sendiri, tentu proyek saya terlantar dan tulisan ini tak pernah Anda baca.

Apakah pedoman keramahtamahan (hospitalitas) itu cuma ada di biara promotor saya itu? Jelas tidak. Sudah sejak zaman Abraham ide mengenai hospitalitas itu diperkenalkan. Tak mengherankan, beberapa hadits Nabi misalnya menyinggung soal bagaimana memuliakan tamu, sebagaimana teks bacaan hari ini juga memberi insight untuk melihat apa yang terpenting dalam hospitalitas itu.

Akan tetapi, biarlah saya lanjutkan kembali ke pedoman biara promotor saya tadi. Memang dikatakan bahwa semua tamu diterima seperti Tuhan sendiri, tetapi kemudian ada distingsi: khususnya mereka yang miskin dan ‘peziarah’ yang membutuhkan perhatian segera. Memuliakan tamu yang kaya raya gampang banget. Ha mbok Anda mau menyuguhi dengan apa pun, suatu saat tamu nan kaya raya itu bisa mengganti atau membalas hospitalitas Anda. Akan tetapi, lebih sulit menerima mereka yang tak punya apa-apa untuk membalas kebaikan Anda.

Kalau begitu, hospitalitas sejati mestinya didasari oleh kemurahhatian yang gratis, yang tak mengharapkan imbalan, entah di dunia sini maupun di dunia sono. Kuncinya ada pada bacaan terakhir hari ini: mendengarkan Sabda Allah, yang bisa termanifestasikan juga dalam diri tamu.

Guru dari Nazareth tidak menegur Marta karena pekerjaannya, tetapi karena dia seperti orang yang belajar renang dan terengah-engah dengan nafasnya dan lupa bahwa amat pentinglah ketenangan hati supaya bisa berpikir jernih dan menata gerakan tubuh supaya justru tidak membuat tenggelam. Kalau pikiran kalut dengan kerja dari A sampai Z, bagaimana orang mau mendengarkan? Memuliakan tamu tidak mungkin terjadi tanpa berangkat dari mendengarkan kata-katanya: membaca kebutuhannya.

Bahkan manajemen layanan publik pun memakai prinsip ‘mendengarkan’ ini. Tak ada gunanya mendirikan pusat layanan publik kalau keluhan pelanggan tak didengarkan, bukan? Customer service jadi kunci perusahaan karena dari ketrampilan mendengarkannyalah perusahaan bisa menentukan langkah. Kalau lembaga profit saja membutuhkan kemampuan mendengarkan, apalagi lembaga nirlaba.

Di dinding medsos saya beberapa hari terakhir berseliweran foto imigran yang minta suaka mesti berpindah tempat. Pada zaman kampanye, isu begini bisa dipakai untuk menarik simpati kepada partai (bahkan meskipun tidak memberi kontribusi apa-apa terhadap para imigran). Sekarang, entah partainya ke mana. Di negeri seberang sana orang yang secara damai memberi kritik terhadap perlakuan buruk kepada imigran malah ditangkap karena mengganggu ketertiban umum. Begitulah susahnya memuliakan tamu, ketika tamu itu adalah mereka yang, karena alasan apa pun, tersisihkan dari kewajaran hidup bersama.

Persoalan imigran yang kompleks itu menginsinuasikan bahwa dunia gagal mendengarkan. Hospitalitas tak cukup mengandalkan kebaikan individual. Dibutuhkan ramah mamah yang bersifat kolektif untuk memuliakan para tamu. Semoga semua makhluk berbahagia. Amin.


MINGGU BIASA XVI C/1
21 Juli 2019

Kej 18,1-10
Kol 1,24-28

Luk 10,38-42

Posting 2016: Laris tapi Tak Bermakna