Jantung Hati

Jangankan kematian, kepergian orang terdekat dan tercinta pun bisa bikin orang kehilangan makna hidupnya. Hidupnya seperti di ruang hampa, melayang, tak terkena hukum gravitasi untuk berpijak. Orang bisa bermuram durja, dan mungkin raungan tangisnya bisa menyamai suara knalpot motogp (asal volume TV-nya dikecilkan).
Ada momen-momen dalam hidup ketika semuanya terasa runtuh, seakan-akan segalanya kelar: kecelakaan, kematian, bencana, luka, kecewa, pengkhianatan. Banyak hal yang bisa bikin orang kehilangan pijakan dan mengalami krisis multidimensi.

Akan tetapi, hal lain bisa terjadi juga: pengalaman persahabatan bisa memulangkan makna hidup dan itu juga bisa menyadarkan orang bahwa cinta (persahabatan) lebih kuat bahkan daripada kematian. Tahapan inilah yang dicerminkan dalam narasi bacaan kedua hari ini: dari pencarian sahabat yang hilang menuju perjumpaan dengan sahabat yang telah bangkit.
Tapi, sebentar. Di sini perlu klarifikasi supaya pembaca tak salah mengerti akibat reifikasi yang menyingkirkan misteri #halahdemihurufi.

Untuk memahami kalimat itu, mungkin pembaca perlu kembali ke posting Paska Itu Apa, tak perlu saya ulang di sini. Cukup lihat saja narasi hari ini: Maria mencari Guru dari Nazareth di makam. Itu masuk akal, karena orang mati dikuburkan di makam. Tak mengherankan juga, dia menangis. Bagusnya sih, dalam tangisannya itu dia mencari, meskipun di tempat yang salah.
Loh, piyé ta Rama ki? Tadi bilang masuk akal cari orang mati di makam, sekarang bilang ‘di tempat yang salah’?

Soalnya, yang dicari Maria itu di kedalaman lubuk hatinya itu bukan orang mati. Dia merindukan jantung hati, seperti dilukiskan dalam bacaan pertama. Jantung hati itulah yang tak hendak dilepaskannya, tetapi ia keliru menjodohkan jantung hati dengan wadat tertentu. Itu mengapa saya sebut reifikasi, membendakan yang bukan benda. Orang mencari cinta, tetapi cinta itu dibendakan pada barang atau orang tertentu. Itulah yang membuat Maria mencari di tempat yang keliru.

Tempat yang tidak keliru di mana? Ya dalam hatinya sendiri. Ini yang sering luput dari perhatian orang beragama, yang bikin ribut sepanjang zaman, persis karena membendakan yang bukan benda tadi. Kalau jadi benda, tentu wajar orang akan saling membandingkan lalu membuat penilaian mana yang lebih anu atau lebih inu. Orang-orang beragama seperti ini modelnya sama dengan Maria Magdalena yang menangis mencari jantung hatinya. Bagusnya ya itu tadi, toh tetap mencari; dan lebih bagusnya lagi, ia mengalami perjumpaan dengan jantung hatinya itu. Sekali lagi, jantung hati itu bukan lagi Guru dari Nazareth, melainkan Dia yang mengatasi kematian.

Maria tetap memanggil ‘Guru’ karena hanya referensi itu yang dia punya, tetapi persis pada saat itulah Sang ‘Guru’ mengatakan,”Don’ touch me!” Maksudnya, jantung hatimu bukan lagi ‘Guru’ yang dulu. Artinya? Anda mesti masuk ke level atau dimensi yang berbeda, yang tidak lagi ribut soal apakah ‘Guru’ ini benar-benar mati atau tidak. Keduanya tak bisa menyangkal bahwa jantung hati itu misteri Allah yang terus menerus dicari orang juga meskipun ia menangis sepanjang pencarian. Tangisan itu akan sia-sia kalau orang mengidentikkan jantung hati dengan benda alias melakukan reifikasi tadi loh.

Tuhan, mohon rahmat kesetiaan-Mu. Amin.


PERINGATAN WAJIB ST. MARIA MAGDALENA
(Senin Biasa XVI C/1)
22 Juli 2019

Kid 3,1-4
Yoh 20,1.11-18

Posting 2017: Kemplang Aja Bleh
Posting 2016: Kenapa Nangis?

Posting 2015: Tak Usah Takabur
Posting 2014: You Need Love