Merantau

Pernahkah Anda menonton film berjudul Merantau yang dibintangi oleh Iko Uwais itu? Belum pernah? Wah wah wah, memang dunia kita berbeda. Saya tidak memberikan spoiler di sini, tetapi teks bacaan hari ini membawa imajinasi saya melayang ke sana. Juga melayangkan memori saya ke pengalaman masa kecil sebagai anak rantau di Jakarta. Bukan pengalaman di Jakartanya yang saya kenang, melainkan pengalaman bersama teman-teman balita saya di sebuah dusun daripada kota kecil antara Jogja dan Solo.

Lebih dari empat puluh tahun saya tak jumpa mereka tetapi yang mengesankan saya ialah bahwa teman saya itu masih mengenali saya, dan sebaliknya. Saya mudah mengenali dia karena gendutnya, tetapi bagaimana mungkin dia mengenali saya padahal dia pasti tak tahu aplikasi FaceApp yang baru viral belakangan ini dan saya sudah menyamai kegendutannya? Dugaan saya, dia cuma menebak-nebak karena mendapat informasi dari saudara-saudara saya. Gak penting ya? Emang, tapi justru itulah yang memberi saya perspektif untuk membaca teks hari ini.

Barangkali memang orang perlu merantau, bukan demi merantaunya sendiri, atau demi perbaikan taraf hidup, melainkan demi membangun identitas dirinya yang lebih manusiawi. Merantau ini tak perlu secara eksklusif diartikan sebagai pergi ke tanah atau negeri seberang, tetapi bisa juga keluar dari cangkang primordial tertentu: agama, suku, ras, bahkan gender. Tentu saya tidak bicara bahwa Anda jadi murtad, berpindah agama, aplikasi green card dan seterusnya.

Bacaan pertama mengisahkan bagaimana bangsa Israel (tidak identik dengan negara Israel sekarang, yang tentu saja sangat politis) pulang dari perantauan dengan peristiwa heboh: Musa menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk membelah Laut Merah dan menguburkan penjajah di dalamnya dan bangsa Israel selamat. Di akhir diungkapkan bagaimana mereka memuji Allah karena keselamatan mereka. Kelak mereka membangun identitas baru sebagai umat Allah, yang hanya mengandalkan kekuatan Allah dan karena itulah mereka menganggap diri sebagai bangsa terpilih.

Saya kira anggapan itu sah-sah saja seturut pengalaman mereka dengan Allah. Akan tetapi, anggapan yang sah itu tidak otomatis tanpa problem. Atribut terpilih bagi bangsa Israel itu muncul karena ikatan perjanjian dengan Allah mereka. Jadi, yang utama bukan atribut terpilihnya, melainkan ikatan perjanjian dengan Allahnya. Lha, ikatan perjanjian dengan Allah itu tidak menganut prinsip ius soli atau ius sanguinis. Bukan mentang-mentang orang lahir di Tanah Suci atau sering ke Tanah Suci njuk dia ikut dalam bilangan bangsa terpilih, tetapi juga bukan mentang-mentang orang lahir sebagai keturunan nabi atau rasul trus dia jadi anggota istimewa bangsa terpilih itu.

Tentu saja, karena yang bisa membuat perjanjian dengan Allah itu adalah orang per orang. Bapaknya boleh saja pemuka agama, tapi kalau anaknya punya perjanjian lain dengan Allah, njuk gimana? Ibunya boleh saja aktivis politik, tetapi kalau anaknya terpanggil untuk jualan cilok, arêp piyé jal? Penting dilihat di sini bahwa setiap orang diundang untuk keluar dari conditionings yang dibawanya, bukan untuk memberontak, melainkan untuk menemukan makna baru atas dasar relasi personal dengan Allah itu sendiri.

Tuhan, berilah kami rahmat untuk senantias memperluas cakrawala hidup seturut tuntunan-Mu. Amin.


SELASA BIASA XVI C/1
23 Juli 2019

Kel 14,21-15,1
Mat 12,46-50

Selasa Biasa XVI B/2 2018: Torang Samua Basudara
Selasa Biasa XVI C/2 2016: Susah Ya Mendengarkan?
Selasa Biasa XVI B/1 2015: Keluarga Ancur