Dulu saya pernah tinggal di rumah yang jaraknya dari gereja cuma seratus meter, tetapi saya sangat jarang ke gereja itu dan lebih memilih ke gereja lain yang jauh lebih jauh. Kenapa? Karena terlalu bosan dikhotbahi pastornya yang isinya selalu kembali ke nasihat untuk rajin menabung! Apapun bacaannya, pokoknya berujung pada anjuran supaya rajin menabung. Lha ini ke gereja atau ke kantor penyuluhan koperasi sih?
Itu terjadi lebih dari dua dekade lalu, dan saya baru memetiknya hari ini. Jangan salah, sampai sekarang pun saya tidak menabung. Saya hanya bilang bahwa baru setelah sekian lama saya memetik pesan khotbah pastor itu. Yang beliau sampaikan, yang pada saat itu bikin saya gak semangat ke gereja terdekat, baru beresonansi positif sekarang ini untuk memaknai teks bacaan hari ini. Atau sebaliknya ya? Ya bergantung dari sisi mana sih melihatnya.
Bacaan pertama menyodorkan gerutu bangsa Israel yang baru saja keluar dari perbudakan di Mesir. Kok isa ya, dah terbebas dari perbudakan saja masih menggerutu? Ya bisa banget. Tak usahlah bertahun-tahun, saya beberapa jam saja di padang gurun memilih tinggal di dalam bus ber-AC atau mencari tempat yang bisa melindungi badan dari sengatan matahari! Mengertilah saya mengapa dulu bangsa Israel itu bersungut-sungut.
Menariknya, Tuhan mendengar gerutu juga ya. Jangan-jangan dalam gerutu itu ada doa ya karena, menurut mas Agung kawan medsos saya, doa itu berasal dari bahasa Arab yang berarti permohonan, yang seakar kata dengan dakwah (ajakan) dan da’i (pengajak). Kurang murah hati apa itu ya Tuhan, orang menggerutu saja didengarkan! Mereka tidak kelaparan dan kehausan di padang gurun karena rupanya Tuhan menganugerahkan persediaan logistik yang cukup lewat fenomena alam di sekitar bangsa Israel itu berada.
Menariknya lagi, kepada Musa disampaikan bahwa Tuhan seakan hendak menguji bagaimana bangsa Israel mengelola hidup mereka. Skenarionya ialah bahwa semestinya mereka menabung secukupnya. Dalam konteks saat itu, memungut rezeki dan menabungnya untuk sehari. Tentu gak ada orang zaman sekarang yang menabung cuma untuk sehari. Menabung tuh ya untuk masa depan dong! Akan tetapi, justru pesan menabung inilah yang saya pahami sekarang: tak usah memelihara kekhawatiran untuk hari lain karena Tuhan juga yang menyediakan, entah bagaimana caranya.
Kesadaran saya itu menjadi contoh konkret untuk insight teks bacaan kedua mengenai penabur. Sabda Allah seperti benih yang ditaburkan ke aneka jenis tanah dan pertumbuhannya akan bergantung pada bagaimana benih itu bisa mengakar dalam aneka jenis tanah itu. Pembaca tak perlu menghakimi diri (apalagi orang lain) apakah ia termasuk tanah jalanan, tanah bersemak duri, tanah berbatu, atau tanah yang baik. Ya boleh ding menilai diri, tetapi bukan dalam arti statis. Contohnya ya menabung itu tadi. Dulu rupanya anjuran ‘menabung’ itu seperti benih yang jatuh di jalanan, tetapi rupanya tidak sepenuhnya betul begitu. Masih ada sedikit tanah yang baik dalam diri saya sehingga setelah sekian puluh tahun toh anjuran itu berakar juga. Apakah ini mau disebut telmi atau proses, ya silakan monggo.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk menabung Sabda-Mu dan mengambilnya pada saat yang tepat. Amin.
RABU BIASA XVI C/1
24 Juli 2019
Rabu Biasa XVI C/2 2016: Ketak Ketik
Rabu Biasa XVI A/2 2014: Jokowi – Jeremiah – Jesus
Categories: Daily Reflection