Andai saja Bu Zebedeus dan anak-anaknya itu datang kepada Jokowi untuk minta posisi setara menteri….
Semoga Anda masih ingat siapa itu Bu Zebedeus. Ya betul, istrinya Pak Zebedeus, yang punya anak bernama Yakobus (dan Yohanes) yang dipestakan Gereja Katolik hari ini.
Atau tak usahlah minta posisi setara menteri. Andaikanlah Bu Zebedeus ini datang kepada Jokowi supaya diterima sebagai ASN…
Bisa saja loh Jokowi menyitir teks hari ini,”Kamu tidak tahu apa yang kamu minta,” dan Bu Zebedeus menjawab,”Oh ya tahulah. Anak saya bakal punya masa depan, bakal dapat tunjangan pensiun, bakal dapat tunjangan kinerja, bakal dapat tunjangan keluarga, dapat tunjangan perjalanan dinas, kendaraan dinas, dan apa lagi ya….” Pokoknya hidup anaknya sebagai ASN dijamin akan ditunjang-tunjanglah.
Begitulah. Bukan cuma Bu Zebedeus, melainkan juga anak-anaknya bisa jadi berpikiran seperti simboknya itu: hidup dari iming-iming.
Lho ya gak apa toh, Rom. Bukankah orang hidup itu perlu punya mimpi alias dream, dan bukannya cuma masuk drim alias tong bahan bakar oplosan?
Iya, itu kan kata motivator, dan lagi dream itu belum tentu cuma berarti mimpi seperti orang bermimpi jadi presiden dengan segala daya upaya dan penunggangnya #eh. Trus, yang paling pokok tentu saja, iming-iming kenapa mesti dikaitkan dengan dream?
Iming-iming itu, kalau sudah fasih dengan Azas dan Dasar (kliknya tuh di sini), Anda tahu tempatnya di mana. Iya betul, sebagai sarana. Akan tetapi, jelaslah bahwa tidak semua sarana sinkron dengan tujuan. Dengan kata lain, tidak semua iming-iming itu bisa mengantar Anda pada tujuan terdalam hidup Anda. Maka dari itu, tadi saya katakan Bu Zebedeus dan mungkin juga anak-anaknya hidup dari iming-iming, dan itulah yang saya kritisi. Bukannya saya tidak setuju iming-iming, tetapi orang yang dewasa dalam beriman kiranya jeli membedakan antara iming-iming yang berasal dari kedalaman hidup dan yang berasal dari kedangkalan hidup.
Celakanya, iming-iming yang datang dari kedalaman hidup itu justru tidak termanifestasi dalam aneka kenyamanan. Sebaliknya, kata Paulus,”Upahku ialah bahwa aku boleh mewartakan Kabar Gembira tanpa upah!” Apa artinya? Kalau dalam konteks Bu Zebedeus dan anak-anaknya yang datang ke Jokowi berarti upahnya adalah bekerja-sebagai-ASN-nya itu sendiri, bukan hidup yang ditunjang-tunjang itu.
Jadi imajinasinya begini: bolehlah anak-anak Bu Zebedeus ini termakan iming-iming tunjangan sebagai trigger jadi ASN. Akan tetapi, kalau ternyata lolos jadi ASN, dan masih termakan iming-iming tadi, ia akan cenderung jadi bulan-bulanan iming-iming dan malah tidak mendapat upah kedalaman hidup yang adalah bekerja-sebagai-ASN tadi.
Akibatnya? Pertama, mereka bekerja tak sesuai standar moral maupun legal. Kedua, pajak dari rakyat tak tepat sasaran. Ketiga, pembangunan tersendat, dan seterusnya. Kenapa? Ya karena pikiran hidup dari iming-iming yang dangkal tadi. Pola pikir Bu Zebedeus dan anak-anaknya berbunyi “Apa yang bisa kudapat” dan bukannya “Apa yang bisa kuberikan” atau “Apa yang bisa kulakukan demi bonum commune“. Dalam tahap perkembangan moral, pola pikir begini mencerminkan prinsip do ut des, memberi supaya menerima. Begitulah kerja iming-iming.
Tuhan, mohon rahmat ketulusan hati untuk mewartakan kabar gembira-Mu. Amin.
PESTA SANTO YAKOBUS RASUL
(Kamis Biasa XVI C/1)
25 Juli 2019
Posting 2018: Kali Item Mambu
Posting 2017: Bumi Kita Sama
Posting 2016: Adakah Iman Selebriti?
Posting 2015: Merasa Bisa, Tak Bisa Merasa
Posting 2014: Jabatan = Pelayanan
Categories: Daily Reflection
Seneng, renungan ini sekarang hadir lebih pagi. Sebelum memulai aktivitas di kantor, baca renungan ini dulu.
Terima kasih Mo.
LikeLiked by 1 person
Sama2 Mase… iya sebelumnya dischedule jam 11an utk yg break kantor, hehe. Salam.
LikeLike