Kata interconnectedness tidak hanya jadi kata kunci bagi globalisasi, tetapi juga bagi kesadaran ekologis. Maap, ini saya omongkan karena hari-hari ini sedang nyepi saja dengan tema ekologi, tema yang bikin saya galau, karena seluruh latar belakang akademis saya sebetulnya ya cuma abstraksi dari apa yang pada dekade belakangan ini diteliti para ahli dan pemerhati ekologi. Teologi tak punya daya untuk menjelaskan ‘misteri’ semesta ini. Sainslah yang punya. Teologi hanya punya daya untuk membantu orang memahami ‘misteri’ semesta itu.
Tak mengherankan bahwa orang beragama yang galau dengan agamanya mencocok-cocokkan kejadian semesta dengan apa yang dikatakan dalam Kitab Sucinya,”Nah, itu sudah ada dalam Kitab Suci. Sudah dikatakan di sini dan di situ.” Ya gak apalah, bungkus, kalau memang itu jadi cara peneguhan untuk beragama. Tak mengherankan juga bahwa kebanyakan posting dalam blog ini bikin pusing delapan keliling karena target utama kebanyakan pembacanya adalah kategori kejelasan atau penjelasan (erklaren), bukannya pemahaman (verstehen). Idealnya, dua hal itu memang saling melengkapi (tapi apa pula toh itu erklaren dan verstehen? Haha…)
Ada klip menarik mengenai kesaksian seorang astronot yang meninggalkan bumi untuk beberapa waktu dan melihat bumi dari luar angkasa. Dia menyatakan kurang lebih begini: Aku meninggalkan bumi sebagai ahli teknik (itu kategori erklaren tadi) dan kembali kepadanya sebagai ahli kemanusiaan (verstehen). Betul, memang sudah dikatakan oleh agama bahwa Tuhan itu cuma ‘satu’, sebagaimana bumi ini ya cuma satu, bumi yang sama yang dipijak oleh aneka orang beragama; tetapi barangkali untuk ngeh pada inspirasi agama itu, orang butuh penjelasan dengan indra, melihat bahwa planet bumi ini ya cuma satu, tak ada garis batas, tak ada dinding pemisah.
Yang bikin pemisah ya manusia sendiri yang hendak jadi pemenang atas yang lainnya, yang hendak membuat kelekatan demi kelekatan demi ego manusia sendiri. Itu bahkan tecermin dalam paradigma Kitab Suci Perjanjian Lama mengenai penciptaan: manusia sebagai makhluk tertinggi. Maka dari itu, apa-apa saja pokoknya demi manusia! Dalam perspektif Kristiani, makhluk tertinggi itu bukan manusia pada umumnya, yang bisa saling menundukkan, saling bantai dengan pendekatan ekonomi, sosial, politik, agama, melainkan manusia Kristus. Maka, kosmologi Kristiani bukan lagi antroposentris, melainkan Kristosentris (yang tentunya ya teosentris). Dalam kosmologi itu, permintaan ibu Yakobus tak ada tempatnya.
Tidak relevan bahwa manusia meminta posisi lebih tinggi daripada manusia lain, bahkan makhluk lain. Semua ciptaan ini menjadi harmoni ciptaan Allah; merusak lingkungan ya merusak tubuh sendiri; merusak ekosistem ya pada gilirannya mencederai tubuh sendiri. Semula tak saya duga bahwa produksi daging secara massal itu merupakan penyumbang terbesar bagi global warming. Orang boleh berdebat mengenai global warming, keluar dari kesepakatan tentang perubahan iklim, dan sebagainya, tetapi ia takkan bisa mengelak dari tanggung jawab moral merawat bumi supaya layak dihuni.
Perawatan itu hanya mungkin dibuat oleh mereka yang punya kesadaran akan interconnectedness dan tak memelihara paradigma posisi superior terhadap sesama, terhadap makhluk hidup lainnya, bahkan terhadap materi yang tampaknya mati.
Tuhan, mohon rahmat kesadaran akan interconnectedness dan kerendahhatian. Amin.
PESTA SANTO YAKOBUS RASUL
(Selasa Biasa XVI A/1)
25 Juli 2017
Posting Tahun Lalu: Adakah Iman Selebriti?
Posting Tahun 2015: Merasa Bisa, Tak Bisa Merasa
Posting Tahun 2014: Jabatan = Pelayanan
Categories: Daily Reflection