Politik Mandul

Pernah dengar istilah ‘rahasia mesianik’? Aksi senyap kebaikan: tak usah beriklan-iklan atau boosting posting via medsos atau fanpage atau corong pengeras suara, misalnya. Kalau yang disuarakannya itu sungguh kebaikan, ia justru menyimpan identitas kebaikan itu sampai saatnya kebaikan itu terungkap sendiri.

Jadi ceritanya Guru dari Nazareth itu diikuti orang banyak karena kemampuan supranaturalnya, tetapi itu benar-benar tak menyukakan hati penguasa agama. Karena berhadapan dengan penguasa agama itu dia memilih menyingkir sampai hari yang tepat. Ukuran tepatnya apa? Tidak ada petunjuk jelasnya sih dalam teks selain nubuat: Ia tidak akan berbantah dan tidak akan berteriak dan orang tidak akan mendengar suaranya di jalan-jalan. Menyusul kemudian prinsip kerja Allah yang compassionate itu.

Yang menarik saya bukan bahwa ‘rahasia mesianik’ itu berhubungan dengan kerendahhatian. Ini soal menanti waktu yang tepat. Jadi, kebaikan ya mesti dinyatakan, diluaskan, tetapi identitasnya tidak perlu diobral. Identitas ini mesti berkenaan dengan aneka macam hal yang jadi objek labelling.
Contoh ya. Kalau Anda punya saudara menderita sakit kronis dan sembuh, tentu Anda kepo apa yang menyembuhkan sakit kronis itu, lalu Anda kejar info sehingga didapatilah aneka hal: obatnya apa, dokternya siapa, bahannya apa, di mana diramunya, dan seterusnya.

Bahkan, juga kalau sakit itu disembuhkan oleh orang yang bukan dari ranah medis, dan ditegaskannya bahwa Tuhan yang menyembuhkan, Anda tetap akan mencari info siapa orang itu, mungkin agamanya (padahal ya supranatural tak terikat agama tertentu), jenis doanya, dan seterusnya. Singkatnya, Anda terus akan berusaha mencari tahu apa sebetulnya yang menyembuhkan penyakit kronis itu. Alasannya, kebaikan mesti diwartakan, siapa tahu bisa membantu orang lain, dan seterusnya.

Pada saat Anda getol mencari info tadi, Anda sedang menunggangi jalur ‘kekuasaan’ alias power: Anda mau menguasai informasi untuk dipakai seturut mana yang Anda pandang benar-baik-tepat. Guru dari Nazareth tidak menempuh jalur itu karena dia yakin yang benar-baik-tepat tadi asalnya dari Allah. Dia menunggang jalur authority: yang penting sungguh merealisasikan apa yang benar-baik-tepat tadi. Maka, sebisa mungkin tidak bersinggungan dengan yang main power dulu sebelum power itu kalap.

Meskipun agama memuat power dan authority, tak ada agama yang bertahan tanpa authority. Sebagian agama bisa jadi bertahan tanpa power. Politik, sebaliknya, juga punya komponen power dan authority, tetapi tanpa power jadinya mandul. Begitulah kata tetangga. Idealnya, power dan authority beriringan, tetapi apa daya tangan tak sampai. Guru dari Nazareth pun memilih menyingkir dari power yang tak punya authority karena jadinya sewenang-wenang: alih-alih belajar mendapatkan authority malah bersekongkol membunuhnya.

Orang beragama perlu mawas diri apakah ia sedang menonjolkan power atau authority. Kalau semata power yang diperjuangkannya, dia sedang berpolitik (identitas). Isinya embuh-embuhan, syukur kalau politik identitas itu adil, karena keadilan bisa jadi salah satu elemen authority. Kebanyakan penguasa agama bisa jadi bermain-main di wilayah itu tanpa authority. Di situ, mereka masuk dalam ranah manajerial tanpa kualitas leadership, tak ada rahasia mesianik (karena klaimnya benar-baik-tepat tetapi isinya embuh-embuhan tadi). Jadilah mlempem bin mandul.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk memilah sungguh mana yang sejalan dengan proyek-Mu. Amin.


SABTU BIASA XV C/1
20 Juli 2019

Kel 12,37-42
Mat 12,14-21

Sabtu Biasa XV B/2 2018: Kawin Campur
Sabtu Biasa XV C/2 2016: Aku Cinta (Papua)
Sabtu Biasa XV B/1 2015: Agama Selingkuh
Sabtu Biasa XV A/2 2014: Working Evil