Tadi malam saya berkesempatan bincang-bincang dengan sekelompok orang muda. Dari satu jam waktu yang direncanakan jadi sekitar dua jam dalam pelaksanaan. Tahu sendirilah apa yang diperbincangkan: cara menguji ketulusan cinta (berasa promosi buku, sayang cuma bawa lima eksemplar #halah). Dari obrolan itu memang ada satu persoalan yang tidak saya bahas karena saya mempertimbangkan audiens yang rata-rata duduk di bangku sekolah: perkawinan campur. Itu isu sensitif untuk masyarakat di sini pada umumnya dan kita tahu bahwa sensi adalah problem sensasi orang yang melihatnya daripada soal perkawinan campurnya sendiri.
Ya gak gitu juga kale’ Mo, kan ada dampak sosial yang mesti dilihat. Eaaa betul, kerap kali objek kajian orang dilihat dengan prasangka sosial. Saya tidak berangkat dari asumsi sosial, tetapi dari perspektif hidup rohani dengan pijakan azas dan dasar: agama dan perkawinan itu adalah sarana, bukan tujuan hidup orang. Alhasil, ambil saja kalau memang sungguh jadi sarana, tetapi mesti lepas bebas terhadapnya kalau tidak jadi sarana efektif untuk mencapai tujuan. Maka, kalau perkawinan dan agama jadi persoalan ganda, tinggal membuat prioritas saja mana yang lebih penting. Gampang, bukan? Teorinya….
Mari lihat kasus konkret: orang berpindah agama demi perkawinan. Mana yang dianggap lebih penting? Perkawinan. Orang tua tak mau anaknya menikah dengan orang yang berbeda agama kecuali orang itu memeluk agama yang sama dengan anaknya. Mana yang dianggap lebih penting? Agama. Nah, kalau itu terjadi (pacar mau pindah agama demi kawin dengan anak ortu yang menganggap agama lebih penting itu), manakah yang sebetulnya lebih penting bagi mereka? Agama atau perkawinan? Ha rak bingung toh menjawabnya?
Baik agama maupun perkawinan mestinya diletakkan dalam koridor pengabdian kepada Allah (bukan agama). Maka, apa problemnya kalau dengan kawin campur malah pasangan itu bisa mengabdi Allah? Saya kira peluang itu ada dalam Gereja Katolik yang memungkinkan perkawinan dengan umat beragama lain tanpa mempersyaratkan umat beragama lain berpindah agama entah sebelum atau setelah perkawinan. Tak ada hidup yang ideal. Bahkan perkawinan dalam agama sendiri juga rentan kasus kekerasan atau pendidikan agama yang minim, bukan? Jadi, mendewa-dewakan agama malah jadi bumerang bagi agama sendiri: alih-alih membantu orang berjumpa dengan Allah, malah menawarkan diri sebagai ilah.
Kalau begitu, Romo menganggap perkawinan lebih penting daripada agama ya? Enggak juga. Saya mengatakan, keduanya perlu diletakkan sebagai sarana untuk berbakti kepada Allah. Gak ada gunanya memaksakan perkawinan seagama kalau nyatanya ya cuma jadi formalitas dan hati terdalam orang menjerit tak karuan. Gak ada gunanya juga perkawinan campur kalau cuma jadi trik supaya bisa cerai dan cari mangsa lain. Ini semua berpulang pada kejujuran orang-orang yang terlibat dalam relasi perkawinan itu sendiri: mau mencari cinta Allah atau mencari cinta diri. Kalau sungguh cinta Allah yang dicari, berlaku love conquers all. Kalau tidak, yang terjadi adalah peperangan predator.
Barangkali gagasan ini menentang proyek agama karena melenceng dari target agama. Semoga para pemuka agama tak bersekongkol untuk membunuh gagasan macam ini, sebagaimana orang-orang Farisi bersekongkol untuk membunuh guru dari Nazareth. Amin.
SABTU BIASA XV B/2
21 Juli 2018
Sabtu Biasa XV C/2 2016: Aku Cinta (Papua)
Sabtu Biasa XV B/1 2015: Agama Selingkuh
Sabtu Biasa XV A/2 2014: Working Evil
Categories: Daily Reflection