Hobi Konflik

Hidup tanpa sentuhan konflik itu rasa-rasanya impossible, kalau tidak konflik dengan orang lain, sekurang-kurangnya ada konflik dalam diri. Pokoknya sejak orang lahir, dalam dirinya sudah ada benih konflik di manapun dia berada, dari yang sepele sampai yang prinsip, dari yang ringan sampai yang berat, dari inisiatif warga untuk beli bambu tiang bendera Asian Games sampai niat pemerintah menutup kali item nan bau. Yang menarik saya adalah bagaimana konflik antara Guru dari Nazareth dan orang-orang Farisi jadi cermin bagaimana mereka memecahkan konflik hidup, sekaligus jadi pertanyaan bagi orang zaman now mengenai pokok yang sama.

Orang Farisi punya senjata penyelesaian yang jelas terhadap konflik yang dihadapinya: hukum, legalitas. Artinya, kalau ada konflik, lihat saja dalil hukumnya bagaimana, dalam hal ini hukum agama, karena itu adalah hukum Allah. Guru dari Nazareth lebih realistis: meskipun itu diklaim hukum Allah, elemen kepentingan kekuasaan manusia bisa saja masuk dalam (penafsiran) hukum itu. Maka, hukum agama itu perlu direview dengan apa yang sungguh-sungguh jadi wujud belas kasih Allah. Itu bedanya: orang Farisi tak peduli gimana keadaan manusia demi tegaknya hukum agama, sedangkan Guru dari Nazareth itu melihat integritas hukum agama dalam hubungannya dengan belas kasih Allah sendiri (yang tak bisa diukur dengan tolok ukur manusiawi semata).

Apakah kalau begitu, belas kasih Allah itu melanggar hukum agama dan dengan demikian bisa membuat hukum agama usang? Enggak juga. Guru dari Nazareth itu kembali ke hukum agama dan terapannya dalam sejarah untuk menemukan apa yang sesungguhnya jadi wujud belas kasih Allah tadi. Singkatnya, kalau dalam hukum agama itu ada yang konflik, itu justru dijadikan trigger untuk melihat level yang lebih tinggi, bukan semata untuk mempertentangkan ayat yang satu dengan yang lainnya.

Di situ tersirat juga kritik terhadap pendekatan zaman now yang berbau-bau spiritualisme: mentang-mentang lebih tinggi dari hukum agama, orang berupaya memecahkan konflik dengan klaim bahasa Roh, yang tidak lain hanya jadi wujud kepicikan pengetahuannya mengenai hukum agama, tetapi juga rabunnya terhadap persoalan konkret. Lihatlah misalnya orang yang merasa diri mengikuti gerak Roh dan membiarkan dirinya jadi bulan-bulanan penindasan atau penjajahan. Lihat juga orang yang atas nama cinta njuk selalu mengalah terhadap perbudakan. Alasannya spiritual: cinta Tuhan dan dorongan Roh untuk rendah hati. Mana rendah hatinya jal? Rendah diri iya, dan itu cuma wajah lain dari arogansi!

Memang tidak selalu mudah mengatasi konflik batin dengan pendekatan seperti diajarkan Guru dari Nazareth. Orang mesti jujur kembali kepada diri sendiri sekaligus melihat perkaranya seobjektif mungkin. Paling gampang ya pendekatan spiritualis (pokoknya asal bawa nama Tuhan atau Roh) dan legalistik, konflik bisa dianggap selesai. Akan tetapi, itu cuma manifestasi bahwa orang lari dari persoalan manusia yang sesungguhnya. Belas kasih Allah tidak lari dari kemanusiaan, tetapi merasuki kemanusiaan. Tugas orang beriman ialah menemukan jejak belas kasih Allah itu dalam konflik hidup orang.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami dapat menemukan belas kasih-Mu dalam setiap persoalan hidup kami. Amin.


JUMAT BIASA XV B/2
20 Juli 2018

Yes 38,1-6.21-22.7-8
Mat 12,1-8

Jumat Biasa XV A/1 2017: Mari Ziarah
Jumat Biasa XV C/2 2016: Koin untuk Apa?
Jumat Biasa XV B/1 2015: Idul Fitri untuk Semua

Jumat Biasa XV A/2 2014: Andaikan Besok Aku Mati