Umat beriman sudah semestinya menjaga keseimbangan antara kepatuhan terhadap hukum dan ‘nyawa’ praktik-praktik keagamaannya. Sabda Yesus “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat” bisa jadi secara sesat ditangkap orang (terutama anak-anak muda) sebagai landasan atau pembenaran untuk melanggar aneka hukum sesukanya. Paham ini sesat karena dua hal. Pertama, tidak setiap orang bisa mengklaim diri sebagai Anak Manusia. Dalam Kitab Suci, gelar ini secara eksklusif ditujukan kepada Kristus. Kedua, frase “Tuhan atas hari Sabat” tidak identik dengan pernyataan bahwa hukum dibuat untuk dilanggar.
Kristus adalah Tuhan atas hari Sabat. Itu berarti tolok ukur hidup matinya ‘nyawa’ agama bukanlah hukumnya sendiri, melainkan relasi dengan Kristus. Relasi dengan Kristus inilah yang jadi unsur dasar umat beriman untuk memberi pemaknaan pada praktik keagamaannya. Jika tidak begitu, kepatuhan orang untuk beribadat, berdoa bersama, menjalankan praktik keagamaan lainnya hanyalah sebuah formalisme tanpa nyawa.
Salah satu cara yang bisa dibuat orang untuk memupuk relasi pribadi dengan Sang Tuhan atas hari Sabat itu ialah dengan mengoreksi prioritas nilai hidupnya; semakin prioritas nilai itu terarah pada nilai-nilai Kerajaan Allah, semakin benarlah praktik keagamaannya. Bagaimana melakukannya? Pengalaman Hizkia dalam bacaan pertama mungkin memberi inspirasi: menghayati setiap hari sebagai hari pertama… Untuk menghayati ini orang tak perlu menanti sakit parah dan sekarat. Pokoknya ia terus menerus memberi pemaknaan baru terhadap bahkan apa yang rutin. Dengan begitu ia pun menjadi tuan atas hari Sabat….
JUMAT BIASA XV
18 Juli 2014
Yes 38,1-6.21-22.7-8
Mat 12,1-8
Categories: Daily Reflection
1 reply ›