Bulan Ramadhan tahun ini sudah berakhir dan hari ini adalah sungguh hari kemenangan bagi umat Islam setelah melalui masa puasa, masa untuk menaklukkan diri sendiri supaya dapat kembali ke fitrahnya. Meskipun para penyusun kalender liturgi Gereja Katolik tidak memilih bacaan Kitab Suci harian dengan patokan Hari Raya Idul Fitri ini, jika diamat-amati, ada hal yang memang sinkron. Bacaan pertama berisi action plan Allah untuk keselamatan bangsa Israel. Itulah Paska bagi bangsa Israel, yang berarti kemenangan mereka atas perbudakan bangsa Mesir.
Aktor utama kemenangan itu bukan Musa atau Harun, melainkan Allah sendiri yang ‘lewat’. Allah akan memberikan tulah di wilayah Mesir yang menyebabkan kematian anak sulung, entah manusia atau hewan. Yang lolos cuma mereka yang menjalankan petunyuk Allah kepada Musa dan Harun: menyembelih anak domba jantan dan sedikit darahnya dioleskan di kusen pintu. Rumah dengan darah anak domba itu tak akan dikenai tulah saat Tuhan lewat. Kelolosan karena Allah ‘lewat’ itulah yang dipahami sebagai Paska dalam agama Yahudi.
Agama Kristiani memodifikasi paham Paska Yahudi itu. Yang diganti adalah korban anak domba jantannya: diganti orang gila dari Nazaret itu (kok kesannya itu seperti promosi buku ya?), cuma sekali dikorbankan untuk selamanya. Dalam tradisi Gereja Katolik peristiwa itu dikenangkan selalu dalam Ekaristi yang dalam siklus tahunan berpuncak pada hari Paska sebagai peristiwa kemenangan Kristus atas maut. Lah, trus di mana sinkronnya dengan Idul Fitri je, Mo?
Paska dalam tradisi Gereja Katolik kan berada di ujung masa pantang dan puasa 40 hari (puasa wajibnya sih cuma 2 hari), seperti Idul Fitri juga di akhir masa puasa umat Islam. Jadi, letak simpulnya ada pada Paska Yahudi tadi yang disinggung dalam bacaan pertama hari ini. Kalau mau gothak-gathuk ya kira-kira bisa dimengerti begini: Paska Yahudi adalah pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir menuju tanah terjanji. Tanah terjanji itu tak perlu lagi dipahami sebagai wilayah geografis-politik, melainkan kenyataan dalam diri manusia: rohnya. Anda adalah tanah terjanji itu, tetapi Anda baru jadi tanah terjanji hanya jika Anda mengumpulkan aneka ilah dan membuangnya, jika Anda tidak membiarkan diri jadi idol atau ilah itu sendiri, jika Anda kembali pada jati diri sebagai makhluk Allah, anak-anak Allah. Proses itulah yang ditempuh oleh umat Islam dan Katolik dengan pantang dan puasa.
Tentu saja pantang dan puasa tak hanya dilakukan pada bulan Ramadhan atau masa Prapaska. Umat beriman, dengan inisiatif pribadi bisa melakukannya di luar masa itu, lebih-lebih dalam arti rohani, dan bukan sekadar memenuhi keabsahan pantang dan puasa. Bacaan Injil mengisahkan bagaimana Yesus, manifestasi Allah yang senantiasa (jatuh) cinta pada manusia itu melihat murid-muridnya lapar dan butuh makan. Itu real. Orang-orang Farisi hanya berfokus pada pelanggaran hukum, tidak melihat apa yang real. Mereka mengubah hukum jadi idol, jadi ilah, sebuah alat untuk menunjukkan kuasa dan penindasan.
Yesus berada bersama mereka yang jadi korban penindasan hukum. Tidak ada hukum yang bisa mengakomodasi seluruh detil sejarah selain cinta Allah sendiri. Hukum semestinya diletakkan dalam kerangka cinta Allah, bukan dalam frame kekuasaan yang senantiasa menjadikan manusia sebagai objek. Padahal, manusia, apalagi yang erat dengan cinta Allah, senantiasa menjadi subjek atas kehidupan.
Ya Tuhan, semoga di Hari Raya Idul Fitri ini aku semakin menghidupi kenyataan bahwa umat manusia ini seluruhnya bersaudara karena Engkaulah Bapa bagi kami semua, tanpa aneka sekat agama, suku, bahasa, ras. Amin.
HARI JUMAT BIASA XV B/1
Hari Raya Idul Fitri
Kel 11,10-12,14
Mat 12,1-8
Posting Tahun Lalu: Andaikan Besok Aku Mati
Categories: Daily Reflection