Belakangan ini agak santer cerita tentang rekening atau lahan tidur yang bakal disita negara dan kewajiban membayar royalti untuk restoran yang memperdengarkan karya artis. Lalu, muncullah meme dengan ungkapan bijak semacam rekening nganggur tiga bulan diblokir, tanah nganggur dua tahun disita negara, pengangguran dibiarkan negara.
Saya pernah baca, ketika mempelajari gerakan yang dirintis Nabi Muhammad, bahwa tanah yang menjadi lahan tidur akan diambil alih oleh ‘negara’ supaya dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan seluruh warga seturut prinsip keadilan. Saya percaya, mekanisme itu pada dirinya sangat baik. Apalagi, kepala ‘negara’ saat itu adalah Nabi Muhammad sendiri, yang menerima wahyu Allah sepanjang hidupnya.
Problemnya sekarang jadi ganda jika insight dari wahyu Allah itu diterapkan. Pertama, tidak ada jaminan bahwa aparat negara bekerja seturut wahyu Allah itu. Kedua, tidak ada kepala negara yang bisa disejajarkan dengan Nabi Muhammad. Memaksakan wahyu Allah yang luhur dalam sistem yang tak menjamin wahyu Allah bekerja adalah tindakan ngoyoworo waton sulaya.
Lah, kalau begitu, trus kapan wahyu Allah itu bisa bekerja dong, Rom? Sistem korup selamanya gak mungkin ditembus oleh wahyu Allah itu!
Ya bisa saja, bergantung logika yang dipakai orang-orangnya. Selama orang-orangnya cuma bisa berpikir top down sesuai dengan siapa kuat dia menang, wahyu Allah itu mencari orang-orang yang bisa berpikir kebalikannya: bottom up dalam kerangka melayani sebanyak mungkin warga.
Teks bacaan utama hari ini menyinggung perkara warisan. Di hadapan cuan yang dianggap sebagai hak warisan material, pada umumnya orang lupa daratan dan mungkin lautan dan karenanya relasi persaudaraan tak masuk hitungan. Orang berpikir mengenai keluarganya sendiri, kebutuhannya sendiri, egonya sendiri; pokoknya semua-muanya sendiri. Sendiri ini tidak merujuk pada kuantitas, tetapi pada kualitas yang diukur dengan kepentingan egosentris.
Itu (mungkin) mengapa Yesus tidak antusias dengan permintaan orang yang menginginkan hakim untuk memutuskan perkara warisan mereka. Bagi Yesus, cara berpikir parokial, parsial, fragmentaris itu membuat gerakan keadilan sosial tidak mengalami kemajuan. Bayangkan, di tengah-tengah imperialisme Romawi dengan aneka pungutan pajak (dan mungkin royalti) yang memperberat situasi bangsa Yahudi, jika orang berfokus pada cari selamat sendiri dulu, bagaimana dan kapan orang bisa mengalami keselamatan dan kemerdekaan? Delapan puluh tahun merdeka pun tiada makna karena cuma ganti aktor penjajahnya.
Semoga semakin banyak orang yang memiliki keberanian untuk ambil risiko bottom up. Amin.
HARI MINGGU BIASA XVIII C/1
3 Agustus 2025
Pkh 1,2; 2,21-23
Kol 3,1-5.9-11
Luk 12,13-21
Posting 2022: Bagi-Bagi Dong 2
Posting 2019: Mercusuar
Posting 2016: Bukan dari Apa Yang Kaupunya
