Keberhasilan hidup orang tidak terukur oleh seberapa banyak harta yang dikumpulkannya, apalagi harta yang diwarisinya. Kalau tak percaya, tanyakanlah pada Steve Jobs, yang meninggal relatif pada usia muda (56 tahun) dengan kekayaan bersihnya seratusan trilyun rupiah. Katanya, ia tak tertarik jadi orang paling kaya di kompleks pemakaman.
Tentu penafsirannya bisa ditarik-ulur sesuai kepentingan pembaca: jadi orang terkaya sebelum mati, jadi hartawan besar tidak cuma dari batu nisannya, atau entah bagaimana lagi ditafsirkan.
Akan tetapi, kalau pembaca membaca kalimat lanjutannya, tentu penafsirannya berbeda. Yang menyukakan Steve Jobs ialah saat setiap pergi tidur di malam hari ia membawa suasana hati bahwa ia dan orang-orang di sekelilingnya hari itu telah melakukan sesuatu yang luar biasa.
Bukankah ini serupa dengan kata-kata Santa Teresa dari Kalkuta: melakukan hal yang biasa secara luar biasa? Bukankah ini juga sejalan dengan ide yang sudah dibahas bulan lalu non molte ma molto alias non multa sed multum (yang tidak sesederhana terjemahan ‘bukan kuantitas melainkan kualitas’)? Kebenaran bahwa hidup tak bergantung pada harta kekayaan itu rupanya diamini baik oleh mereka yang hidup bergelimangan harta maupun mereka yang hidup miskin.
Kalau begitu, mengapa masih saja orang ribut rebutan harta kekayaan, baik alam maupun bukan, dari lingkup keluarga sampai benua? Mengapa orang masih tetap saja mengambil pilihan bodoh memperlakukan harta kekayaan itu sebagai faktor terpenting hidup matinya?
Menurut Guru dari Nazareth, seperti sudah dibahas dalam posting lima tahun lalu, orang-orang macam begitu tak waspada terhadap πλεονεξία (pleonexia), selalu menginginkan kepemilikan yang lebih dan lebih, tiada henti, seolah-olah kualitas hidup orang ditentukan harta kekayaannya.
Apakah ini indikasi bahwa Guru dari Nazareth membenci kekayaan? Sama sekali tidak! Di arsip catatan lima tahun lalu, What’s wrong with being rich, sudah saya sampaikan catatan soal ini. Dia tidak mempersoalkan harta kekayaannya, tetapi menunjukkan di mana disposisi bodoh orang yang berhadapan dengan harta kekayaan. Keinginan lebih itu bisa menjerumuskan orang pada arogansi untuk menahbiskan diri lebih kuasa daripada Allah sendiri. Kalau sudah sampai di situ, dengan lagak seperti Allah, orang bisa main klaim ini itu.
Tidaklah mengherankan bahwa aneka kekacauan hidup ini disebabkan bukan hanya oleh sifat tak pernah puas dan selalu mencari harta kekayaan yang lebih lagi, melainkan juga oleh cara berpikir eksklusif. Maksud saya, harta kekayaan yang dikumpulkan itu lalu diberi label kepemilikan tunggal: tanahku, anakku, cintaku, mobilku, rumahku, agamaku, keluargaku, sukuku, dan seterusnya. Pokoknya -ku, dengan segala variasinya yang tetap bersifat eksklusif, bahkan kalau itu dijamakkan (tanah kami, rumah kami, dan seterusnya).
Tentu ini sama sekali tidak berarti menyangkal kepemilikan. Akan tetapi, kepemilikan bukanlah tujuan per se, karena apa artinya memiliki seluruh dunia njuk kiamat sebelum seluruh dunia itu bisa dinikmatinya? Apa maknanya mengumpulkan segala-galanya tetapi segala-galanya itu tak mengabdi kebaikan bersama? Bisa jadi, itu cuma jadi seperti mercusuar, yang dipakai untuk menggambarkan gerombolan saya: menerangi yang jauh, yang di bawahnya tetap gelap.😭😭😭 Jangan-jangan, orang berniat mewartakan kebaikan kepada banyak orang, tetapi dengan jalan menindas sedikit orang lain.
Tuhan, mohon rahmat untuk jadi saluran berkat-Mu kepada mereka yang membutuhkan. Amin.
HARI MINGGU BIASA XVIII C/1
4 Agustus 2019
Pkh 1,2; 2,21-23
Kol 3,1-5.9-11
Luk 12,13-21
Posting 2016: Bukan dari Apa Yang Kaupunya
Categories: Daily Reflection