Bukan dari Apa yang Kaupunya

Bukan barang baru bahwa perang saudara bisa terjadi gara-gara warisan, dan ujung-ujungnya bahkan kematian. Nyawa orang pun jadi sia-sia, cuma gara-gara warisan! Lagi, ini contoh kebalikan dari semangat detachment: bukan bahwa orang gak boleh memiliki sesuatu (malah mungkin justru perlu memiliki sesuatu), melainkan bahwa jangan sampai sesuatu itu menguasai orang!

Kalau orang berjibaku demi warisan, hidupnya dikuasai oleh warisan. Sia-sia dah hidupnya, sebagaimana ditegaskan dalam teks Pengkotbah hari ini: segala sesuatu adalah sia-sia. Sebab, kalau ada orang berlelah-lelah dengan hikmat, pengetahuan dan kecakapan, maka ia harus meninggalkan bahagiannya kepada orang yang tidak berlelah-lelah untuk itu. Inipun kesia-siaan dan kemalangan yang besar. Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? Seluruh hidupnya penuh kesedihan dan pekerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya tidak tenteram. Inipun sia-sia.

Pada masa hidup Yesus tentu problem pembagian warisan juga ada, dan yang dapat keuntungan ya para rabbi; mereka dapat iura stolae atau honor yang tidak sedikit! Tak mengherankan bahwa ada yang meminta Yesus menyelesaikan soal pembagian warisan. Mungkin orang ini adalah anak bungsu yang tak dapat sepertiga bagian warisan seturut hukum yang berlaku. Apa jawab Yesus? Dalam terjemahan teks Indonesia tak kelihatan nuansa teguran. Kata ‘saudara’ sebetulnya merujuk pada ungkapan dalam bahasa Inggris ‘Oh, man!’. Yesus tak menyebut nama, tetapi memang maksudnya, teguran itu berlaku untuk manusia pada umumnya.

“Sangkamu aku ini diutus untuk membagi-bagi harta seturut hukum yang kalian buat dengan kategori keadilan kalian sendiri?!” Yesus mengoreksi kriteria keadilan yang dibuat manusia sendiri, yang berujung justru dalam perpecahan (gimana enggak, mosok yang tua dapat 2/3, yang muda dapat 1/3? Dari mana hitungan macam itu?). Yesus tak mau intervensi di situ karena paradigmanya jelas: semua yang ada di dunia ini milik Tuhan, bukan untuk dibagi-bagi seturut aturan yang dibikin manusia sendiri. Silakan cek misalnya bagaimana pembagian hasil eksploitasi bumi Papua: kepada siapa, ke mana itu mengalir, dengan kriteria apa orang bisa menentukan si A dapat sekian dan si B dapat sekian? Kalau pembagian itu dianggap adil, adil menurut siapa? Emangnya dia yang punya kekayaan alam Papua?!

Lah, Rom, kan ya mesti ada biaya untuk eksploitasi toh? Memang, tapi dari mana datangnya gelojoh untuk eksploitasi kalau bukan dari paradigma bahwa kekayaan alam itu milikku?! Ini bukan soal teknis, ini soal paradigma kepemilikan hidup ini. Seluruh hidup ini ada bukan untuk dibagi-bagi sebagai hak kepemilikan, melainkan untuk dibagikan kepada mereka yang memang membutuhkan. Di situ ada problem: orang tidak senantiasa menginginkan apa yang ia butuhkan. Bisa jadi ia menginginkan apa yang dibutuhkan orang lain, juga karena disokong oleh hukum.

Itu yang Yesus minta supaya diwaspadai: πλεονεξία (pleonexia), selalu menginginkan kepemilikan yang lebih dan lebih, tiada henti, seolah-olah kualitas hidup orang ditentukan oleh apa yang dimilikinya. La vita non dipende da ciò che hai, ma da ciò che dai: hidup tak bergantung pada apa yang kau punya, tetapi pada apa yang kau berikan.

Ciyeh, Romo bijak sekali, tapi Romo lupa ya nemo dat quod non habet? Gak ada orang yang bisa memberikan sesuatu yang ia gak punya. Ia mesti punya sesuatu dulu sebelum bisa memberikan sesuatu. Mosok mau ngasih sumbangan ke orang miskin dari tetangganya? Itu sama aja tetangganya yang ngasih sumbangan dong! Kita cuma jadi penyalur! Persis di situlah poinnya. Manusia lupa bahwa ia cuma pengelola harta milik Allah, bukan penguasa mutlak hidup ini! Ini sudah disinggung dalam posting Agama Komunis.

Tuhan, buatlah aku jadi saluran rahmat-Mu. Amin.


HARI MINGGU BIASA XVIII C/2
(Hari Raya St. Ignatius Loyola SJ)
31 Juli 2016

Pkh 1,2; 2,21-23
Kol 3,1-5.9-11
Luk 12,13-21

Hari Minggu Biasa XVIII B/1 Tahun 2015: How Big is Your God?
Hari Minggu Biasa XVIII A/2 Tahun 2014: Makan Apa, di Mana, Siapa?