Demo

Published by

on

Salah satu mekanisme defensif untuk protes adalah regresi. Istilah populernya: ngambek. Wujudnya bisa jadi mogok: mogok makan, mogok kerja, mogok bicara, dan mogok-mogok lainnya. Jenis protes begini mungkin paling diminati orang yang sedang berusaha diet, yang pada dasarnya malas kerja, atau yang setiap kali omong mesti disalahkan orang lain. Ada unsur pengorbanan juga untuk protesnya.

Tentu ada protes lain yang lebih ofensif dan yang berkorban bukan hanya yang protes, melainkan juga mereka yang diprotes dan bahkan mereka yang tidak tersangkut paut dengan protes itu: penjarahan dan perusakan fasilitas umum. Memang sih, dengan dalih gemes karena Undang-Undang Perampasan Aset koruptor tak juga disahkan, orang bisa langsung mewujudkan perampasan aset mereka yang gaya hidupnya tersokong oleh omong besar dan pungli terhadap pajak rakyat. Akan tetapi, itu memang seperti pengadilan rakyat yang main hakim sendiri, yang berisiko salah sasaran. Saya sih senang-senang aja kalau yang dirampas asetnya memang pejabat korup, wkwkwkwk, tapi lebih senang lagi kalau protes atau demo itu dilakukan secara elegan.

Mau elegan gimana, Rom, semua jalur aspirasi tertutup dan para pejabat dan oligarki pongah itu tetap gak peduli pada kondisi orang kebanyakan dan cuma pikir soal kekuasaan?!!!!!
Iya sih, dan saya paham jika saluran demokrasi prosedural tak berjalan baik, demokrasi jalanan bisa jadi pilihan; tapi beneran, itu rentan penyalahgunaan juga oleh mereka yang punya kepentingan kekuasaan.

Barangkali contoh protes atau demo elegan tersirat dalam teks bacaan utama hari ini. Ini bukan cuma kisah mengenai Guru dari Nazaret, melainkan juga cerminan gaya hidup jemaat awal setelah Guru itu tiada. Yang mereka buat itu jadi bagian cikal bakal yang sekarang dilembagakan sebagai Sakramen Ekaristi atau perjamuan. Kenapa itu bisa dibilang demo atau protes? Karena perjamuan pesta dalam tradisi Yahudi maupun Romawi diadakan secara eksklusif bagi mereka yang dianggap ‘suci’ atau orang-orang merdeka. Yang diundang bukanlah para pendosa dan kafir, melainkan mereka yang punya disiplin hidup tradisi menurut Taurat sebagaimana ditafsirkan penguasa keagamaan. Yang bisa bikin perjamuan hanya orang-orang Romawi yang punya kemerdekaan, bukan kaum budak.

Sebaliknya, pengikut Guru dari Nazaret itu malah bikin perjamuan yang terbuka bagi kaum budak, juga bagi mereka yang tersingkir, lemah, miskin, dan terabaikan. Di situ, seturut teladan Guru dari Nazareth, mereka tidak sedang protes atau melawan individu tertentu, entah presiden atau anggota dewan, melainkan protes terhadap cara hidup yang eksklusif dan diskriminatif. Yang mereka lawan bukan orang, melainkan tindakan korup yang menghancurkan hidup bersama. Tindakan korup dilawan dengan tindakan inklusif dan nondiskriminatif.

Dengan demo elegan itu, tak mungkinlah fasilitas umum jadi sasaran. Dengan demikian, Anda tahu, jika demonstrasi itu dilakukan dengan cara anarkis, merusak fasilitas umum, itu tak lagi elegan dan pasti kepentingan kekuasaan, entah yang mana, sedang bermain. Semoga Tuhan melindungi bangsa ini dari predator-predator berbulu domba. Amin.


HARI MINGGU BIASA XXII C/1
31 Agustus 2025

Sir 3,17-18.20.28-29
Ibr 12,18-19.22-24a
Luk 14,1.7-14

Posting 2022: Rendah Hati Busuk
Posting 2019: Piring Terbang
Posting 2016: Pemulung Dilarang Masuk?

Previous Post
Next Post