Pernahkah Anda menghadiri pesta di desa-desa di Jawa Tengah yang terkenal dengan tradisi piring terbangnya? Dalam pesta itu, biasanya hidangan dibuat bersama-sama dan nanti ada yang bertugas untuk menerbangkan piring dari dapur kepada para tamu undangan. Mungkin sekarang sudah tak ada kebiasaan itu, saya tak tahu lagi. Tapi maksud saya, mesti ada orang-orang yang dalam pesta itu bersibuk ria di dapur umum.
Gambaran yang mungkin lebih dekat dengan teks bacaan hari ini adalah pengalaman saya makan bergaya eropah, dengan tumpukan piring dan pisau-sendok-garpu di meja. Itu pengalaman dua puluh lima tahun lalu sih, sekarang gak lagi. Lha gimana wong makan-minum njuk cuci piring-gelas sendiri kok, ngapain mesti berpiring-piring?😂😂😂
Jadi dua puluh lima tahun lalu itu (tapi sepuluh tahun kemudian juga sih), saat makan siang, kami makan bersama-sama dalam empat sampai lima meja. Satu meja untuk berdelapan. Nah, kalau setiap orang mondar-mandir ambil makanan seturut kebutuhan dan selera sendiri kan ruang makannya jadi semrawut dan bisa jadi siapa cepat dia dapat dan yang belakangan tinggal dapat tulangnya.
Oleh karena itu, daripada terjadi gonggongan di sana sini, lebih baik jamuan makan siang itu diatur. Setiap orang menghadapi tumpukan piring untuk sup, nasi-sayur, lauk atau buah. Nanti wadah sup di kiri kanan meja akan dikelilingkan masing-masing untuk empat perut. Kalau semua sudah selesai makan sup, lalu mulai dengan nasi-sayur-lauk. Terakhir, buah. Nah masing-masing ada piringnya sendiri. Maka gak lucu dong kalau piring-piring dan wadah nasi sayur tadi ditumpuk di meja yang sama. Jadi mesti ada petugas lain yang mengambil tumpukan piring dan lain-lainnya tadi. Termasuk kalau ada anggota yang butuh bantuan mengambil tambahan sup dari kelebihan sup di meja lain, ia tidak boleh berdiri lalu mengambil sendiri wadah sup di tempat lain. Ia cukup memberi kode minta tolong kepada petugas.
Nah, petugas itulah yang kami sebut sedang menjalankan tugas ministrare. Ministrare sendiri artinya melayani. Saya bandingkan dengan tradisi piring terbang di desa: kalau perhelatan pesta dan makan itu berlangsung lancar dan menggembirakan, rasanya melegakan sekali. Tak sia-sia berpeluh (sampai peluhnya netes ke piring, hiiiiii) sepanjang hari dan orang lain bisa menikmati perjamuan dengan baik.
Itulah yang mau saya katakan untuk menafsirkan ungkapan Guru dari Nazareth dalam teks hari ini: kalau diundang pesta, pergilah ke tempat duduk belakang, bukan tempat duduk kehormatan. Lalu, dia juga omong soal siapa yang merendahkan akan ditinggikan. Sudah jelas dong itu pasti bukan anjuran untuk merendahkan diri menaikkan mutu. Itu bukan cara kerja orang beriman.
Guru dari Nazareth tidak mengajarkan kerendahhatian semu. Dia mengajarkan kerendahhatian sesungguhnya, yaitu ala petugas ministrare tadi. Tempat terakhir, bukan tempat VIP, maksudnya bukan lagi soal undangan kehormatan atau bukan, melainkan tempat orang bisa melayani banyak orang dan pesta bisa dilangsungkan sebaik mungkin, dan setelah usai orang mendapatkan kelegaannya. Tentu itu adalah metafora kehidupan: semakin orang boleh melakukan ministrare untuk kepentingan yang lebih luas, kebahagiaannya akan semakin luas juga. Nah, soal kepentingan yang lebih luas itu bagaimana, bisa didiskusikan lagi.
Tuhan, mohon rahmat untuk dapat melayani kepentingan seluas semesta. Amin.
HARI MINGGU BIASA XXII C/1
1 September 2019
Sir 3,17-18.20.28-29
Ibr 12,18-19.22-24a
Luk 14,1.7-14
Posting 2016: Pemulung Dilarang Masuk?
Categories: Daily Reflection