Dari manakah tendensi eksklusivisme agama? Mengapa agama menghidupi paradoks universal-eksklusif: mengklaim bahwa agamanya terbuka untuk semua orang, tetapi sekaligus mengeksklusi orang yang tak memeluknya?
Teks hari ini berisi mission statement Guru dari Nazareth itu: misi universal untuk membebaskan, memerdekakan, merealisasikan keadilan bagi semua. Sebetulnya orang-orang sekampungnya setuju dan terpukaw atas pernyataan misi universalnya. Kenapa kemudian mereka menunjukkan sikap eksklusif, tidak suka warta gembira itu melampaui sekat agama mereka ya?
Kalau boleh memakai jasa Clifford Geertz, saya kira itu bisa dijelaskan dengan kenyataan agama sebagai sistem simbol. Seuniversal-universalnya agama, kalau sudah berurusan dengan simbol, mesti tersekat juga. Soalnya, simbol itu memuat dua jalur, yang kelihatan dan tak kelihatan. Jalur yang kelihatan itu jadi penyimbolnya, sedangkan jalur tak kelihatan itu adalah hal atau sesuatu yang disimbolkan.
Celakanya, relasi dua jalur itu tidak bersifat reversible, AC-DC, bolak-balik. Kalau berhati gembira bisa disimbolkan dengan senyum atau tawa, tidak berarti orang yang bersenyum atau bertawa itu berhati gembira. Kedewasaan seseorang bisa terungkap dalam kemampuannya menertawakan diri sendiri, tetapi orang yang menertawakan dirinya sendiri itu tidak selalu adalah orang dewasa: bisa jadi gila semata dan tertawanya tak membuat transformasi hidup.
Demikian juga halnya kalau Allah mewahyukan Diri lewat sesuatu yang kelihatan, entah itu kitab atau pribadi nabi, jalur yang kelihatan itu senantiasa terbuka pada kajian dan kajiannya bergantung pada cara pandang, cara merasa, cara menilai, yang sangat erat kaitannya dengan conditionings yang diterima sejak kecil (itulah kultur). Jadi, problemnya ialah gimana supaya jalur yang kelihatan itu memang klop dengan jalur yang tak kelihatan tadi.
Orang sekampung Guru dari Nazareth hendak memaksa bahwa keselamatan Allah bersifat reversible: kalau Allah menyatakan dirinya lewat agama mereka, berarti agama mereka itu pastinya jalur keselamatan Allah.
Lah, ya emang bener kan, Rom?
Běnĕr tapi tidak pěněr, kata orang Jawa. Benarnya (meskipun tetaplah asumsi orang) bahwa Allah menyatakan diri lewat agama, tetapi jadi tidak pěněr jika agama ditangkap seperti barang statis yang tak berubah-ubah lagi.
Itu mengapa ada sekelompok orang yang mati-matian mau mengupayakan pemurnian agama, menjaga jalur kelihatan tadi supaya sama dengan dulu sewaktu Allah mewahyukan Diri, yang adalah nonsense. Yang dibutuhkan orang beragama zaman now bukan lagi mengembalikan agama ke jalur kelihatan zaman jebot, melainkan mencarikan koneksi antara jalur kelihatan yang bisa berubah-ubah itu dengan jalur tak kelihatannya.
Orang beriman semestinya melihat (kemungkinan) perubahan dalam upaya untuk terkoneksi dengan jalur tak kelihatan dari simbol tadi. Sayangnya, cara manjur untuk itu malah dengan tidak memutlakkan agama (sama sekali tidak berarti tak beragama), masuk ke kedalaman batin (itulah doa) untuk melihat praktik keagamaan yang sungguh AC-DC dengan jalur yang tak kelihatan tadi. Tanpa mawas diri itu, agama cuma jadi pelanggengan jalur kelihatan, yang tragisnya, justru melalaikan jalur tak kelihatannya.
Ya Tuhan, semoga doa-doa kami semakin membuka mata hati untuk melihat kehadiran-Mu lewat aneka hal yang melintasi sekat-sekat hidup kami. Amin.
SENIN BIASA XXII C/1
2 September 2019
Senin Biasa XXII B/2 2018: Anda Asli atau Tulen?
Senin Biasa XXII A/1 2017: Tuhan Yang Membalas
Senin Biasa XXII B/1 2015: Posesif Tanda Cinta? Dari Mana Bang?
Senin Biasa XXII A/2 2014: Kata-katanya Bijak, Ujung-ujungnya Duit
Categories: Daily Reflection