Saya tak tahu alasan pemindahan ibu kota dan sebetulnya juga tidak begitu berkepentingan sih karena entah ibu kota di pulau saya atau pulau Anda, pokoknya masih di Indonesialah. Perkara dengan kepindahan ibu kota itu pemerintahan jadi lebih efektif dan efisien, tentu baru terbukti kalau sudah pindah dan kinerja pemerintahannya dievaluasi secara komprehensif. Itu di luar kompetensi saya.
Saya cuma mau menarik perhatian pada kepindahan. Teks hari ini dibuka dengan keterangan bahwa Guru dari Nazareth pergi ke Kapernaum. Alasan cerdas kepindahannya ke sana sudah saya tuliskan dalam posting tahun lalu berjudul Kutukan Di. Tentu hubungannya dengan potensi strategis geografis untuk pewartaan kabar gembira. Nah, kabar gembiranya apa, dalam teks hari ini dinarasikan dua pokok: keterperangahan pendengarnya dan eksorsisme.
Mengenai yang kedua ini barangkali di Indonesia lebih menarik perhatian karena kurangnya pendalaman akan hal yang pertama tadi. Belakangan ini grup medsos saya disusupi wacana mengenai eksorsisme dan saya mencoba mencari kontak mereka yang mendedikasikan tugasnya untuk eksorsisme ini. Saya sendiri bekerja di ranah yang pertama tadi: supaya orang beragama bisa terperangah. Sebetulnya setiap orang ya sudah melalui tahapan terperangah itu, dan justru di situ persoalannya: melalui tahap keterperangahan berarti kehilangan kemampuan untuk terperangah, karena sudah merasa tahu segala, karena merasa sudah besar, sudah dewasa, sudah mengerti lika-liku kehidupan, dan sejenisnya.
Guru dari Nazareth melawan kuasa jahat yang merebut kemerdekaan seseorang. Kok isa orang dirasuki kuasa jahat? Lha jelas karena dia tidak mau merasuki dirinya sendiri! Hidupnya tidak dipenuhi keterperangahan, tetapi kebengongan, tanpa orientasi dasar, tanpa pegangan, tanpa kesadaran diri, tanpa nilai, tanpa makna. Hidupnya disetir oleh aneka macam kekuatan di luar dirinya: jadi budak konsumerisme, jadi robot, jadi layangan, jadi apa saja yang dikendalikan oleh hal-hal eksternal. Tak mengherankan, pada momen orang terbengong-bengong, kuasa jahat yang pegang kendali. Tidak cuma stress, histeria, bisa juga hidupnya benar-benar terpecah, tak sanggup lagi menghubungkan diri dengan kenyataan hidup yang sederhana. Orang-orang begitu bisa jadi bulan-bulanan black magic, perdukunan, santet, dan entah apa lagi namanya.
Hidup orang beriman diisi oleh keterperangahan terhadap cara Allah menunjukkan cinta-Nya. Orang-orang di sekeliling Guru dari Nazareth itu juga terperangah bukan pertama-tama oleh isi ajarannya karena mereka toh juga sudah sering mendengar ajaran dari para pemuka agama. Sebanyak-banyaknya ajaran agama itu, ujung-ujungnya paling kan ya cinta kepada Allah dan kepada sesama, bukan? Mau apa lagi? Habluminallah dan habluminannas. Sama aja, kan? Beda bahasa, contentnya sama.
Mengapa cara Guru dari Nazareth itu membuat orang-orang Kapernaum terperangah? Karena dia bicara dari pengalaman autentiknya dengan Allah, bukan mengutip kitab sana atau menyitir kitab sini. Otoritas yang berasal dari pengalaman akan Allah ini rupanya tak disadari kebanyakan pemuka agama saat itu. Maklum, pemuka agamanya juga seperti kebanyakan orang beragama lainnya: disetir duit, gaya konsumeris, gila posisi-jabatan, dan sejenisnya.
Tuhan, mohon rahmat untuk senantiasa peka terhadap cinta-Mu dalam aneka suka duka hidup kami. Amin.
SELASA BIASA XXII C/1
3 September 2019
Selasa Biasa XXII B/2 2018: Dokter Laris
Selasa Biasa XXII A/1 2017: Adegan Panas
Selasa Biasa XXII C/2 2016: Omong Kosong
Selasa Biasa XXII B/1 2015: Gayanya Sih Boleh
Selasa Biasa XXII A/2 2014: Manusia Utuh Butuh Titik-Titik
Categories: Daily Reflection