Sepanjang tangan dan budi menuntunmu, jangan berhenti mencintai kehidupan, bahkan jika kamu hanya membantu satu orang pun, hidupmu takkan sia-sia.
Itu kata-kata jurnalis Italia yang saya tak mau menyebutkan namanya, soalnya saya sudah lupa. Dah gitu aja, kalau mau ambil pesan hari ini.
Kalau mau ambil pesan lainnya silakan lanjut membaca.
Salah satu manifestasi mencintai kehidupan itu terlihat juga dari cara Guru dari Nazareth memperlakukan orang sakit yang dibawa kepadanya, yaitu memperlakukan mereka semua sebagai pribadi, bukan sebagai bilangan, angka, jumlah, objek pikiran semata. Ini terlihat dari ungkapan penulis mengenai banyaknya orang sakit yang dibawa kepadanya. Dikatakan bahwa semua orang membawa kepadanya semua orang sakitnya. Entahlah semuanya itu berapa, dan justru tak pentinglah jumlahnya berapa karena poinnya terletak pada perlakuan si penyembuh ini terhadap masing-masing orang sakit itu.
Artinya, ia tidak mengumpulkan mereka bersama-sama di satu pojok ruang tunggu dan mengulurkan tangan ke arah mereka dan menyembuhkannya. Itu bukannya tak mungkin dilakukan, tetapi itu bukan opsi yang diambilnya. Ia meletakkan tangannya atas mereka satu per satu. Dua orang bisa sama-sama sakit demam, tetapi itu tidak mengingkari keunikan masing-masing pribadi, dan kesembuhan yang diberikan Guru dari Nazareth menyentuh keunikan masing-masing pribadi itu.
Intermezzo: ini tidak paralel dengan misa tahbisan imam Gereja Katolik, dan maaf, saya membuka unĕg-unĕg di sini. Kalau dua atau tiga ratusan imam yang datang itu satu per satu menumpangkan tangannya, bisa-bisa untuk ritual penumpangan tangan saja menghabiskan waktu satu jam lebih. Selama satu jam itu umatnya ngapain? Berdoa? Eaaaa…. boro-boro berdoa satu jam, diminta diam setengah jam aja belum tentu mau. Kalau mau pun, setengah jam itu isinya bisa bermacam-macam dan tak terhubung dengan doa. Alhasil, selama satu jam itu ya umatnya nonton imam-imam yang menumpangkan tangannya ke masing-masing calon imam. Ada imam yang gondrong rambutnya, ada yang jubahnya beda sendiri, ada yang cakep, ada mantan pastor paroki, dan seterusnya. Umat ngabsen romonya…. dan begitulah ritual, yang sebetulnya bisa diwakilkan tanpa mengurangi substansi penumpangan tangan para imam senior kepada imam baru. Dengan kata lain, ritual penumpangan tangan ratusan atau ribuan imam itu sendiri tak menambah makna apa-apa.
Sentuhan personal Guru dari Nazareth tentu tak terbatas pada penumpangan tangan. Simaklah bagaimana orang zaman now berkomunikasi dengan sesamanya. Kehadiran gawai mengundang risiko orang mengobjekkan sesamanya. Mentang-mentang multitasking, seakan-akan orang bisa mendengarkan sesamanya sementara ia mencari-cari atau mengetik sesuatu pada gawainya. Mungkin betul dia (bisa) mendengarkan, tetapi yang didengarkannya adalah suara (bukan pribadi orang dengan raut wajahnya), seperti suara lainnya dari gawai.
Menariknya, setelah menyembuhkan orang-orang sakit itu, Guru dari Nazareth tetap pergi meninggalkan dusun asal Petrus itu. Masuk akal juga, kalau dia tinggal di situ, dia bakal terkenal sebagai tabib penyembuh orang sakit, tetapi misinya tak akan tercapai. Penyembuhan hanya salah satu jalan baginya untuk mengabdi Allah.
Ya Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk mengenali sarana dan tujuan hidup kami. Amin.
RABU BIASA XXII C/1
4 September 2019
Rabu Biasa XXII B/2 2018: Echo Chamber
Rabu Biasa XXII A/1 2017: Apa Nazarmu?
Rabu Biasa XXII C/2 2016: Tuman
Rabu Biasa XXII B/1 2015: Kalau Sembuh Trus Ngapain
Rabu Biasa XXII A/2 2014: You are God’s Co-Worker
Categories: Daily Reflection