Dua hari ini saya mengikuti simposium mengenai masa depan ilmu-ilmu sosial. Bukan bidang saya sih, meskipun masih sodara dekat bidang saya, sama-sama anak humanities (yang seakan-akan mau diperlawankan dengan natural sciences padahal semua ilmu ujung-ujungnya demi manusia juga). Kebanyakan pembicaranya dari Indonesia, tetapi pesertanya kebanyakan dari Indonesia juga #lohpiyetotetapinyaabsurd [halah mau nyebut internasional aja ja’im].
Sewaktu membaca kisah dalam bacaan hari ini ingatan saya melayang kepada pengamatan salah satu keynote speaker (pengeras suara utama, eh itu loudspeaker ding). Hari ini dikisahkan guru dari Nazareth menyembuhkan ibu mertua Petrus dan banyak orang lainnya, lalu ketika hendak pergi, banyak orang menahannya dan dia menegaskan bahwa dia memang mesti menyampaikan warta gembira ke tempat-tempat lainnya. Untuk itulah dia diutus, bukan untuk ngendon di satu tempat. Nah, mengenai ini, senior saya yang ikut jadi nara sumber menyebutkan fenomena echo chamber dalam ilmu pengetahuan (tapi juga dalam hidup orang tentu saja). Bayangkanlah Anda berdiri di pinggiran kali yang di seberangnya ada tebing tinggi dan Anda berteriak keras. Anda akan mendengar gema suara Anda sendiri sepersekian detik kemudian, atau setahun kemudian (kalau Anda setia berdiri di situ, cobalah).
Nah, itu kan di pinggiran kali. Masih ada suara lain yang Anda dengarkan. Akan tetapi, kalau Anda berada di suatu ruang besar sendirian atau berkelompok, dan Anda bersuara keras, gema yang Anda dengar kemudian adalah gema suara Anda sendiri atau suara kelompok Anda sendiri. Itulah mengerikannya echo chamber dalam ilmu pengetahuan: Anda berpikir keras, mengadakan diskusi, mengajukan pendapat hebat, dan kemudian yang Anda dengarkan adalah pemikiran Anda sendiri.
Narasi guru dari Nazareth yang tak berdiam di satu tempat itu saya tangkap sebagai gerakan untuk keluar dari echo chamber. Ia tidak hanya mendengar ideologinya sendiri. Kalau Anda mau mengingat posting Tuhan Tobat, silakan klik tautannya. Itu jadi contoh bagaimana guru dari Nazareth keluar dari echo chamber. Memangnya apa sih salahnya orang berdiam dalam echo chamber kalau suaranya memang baik dan benar?
Haiya kuwi Dul, yang mengatakan suaranya baik dan benar itu siapa? Dia sendiri atau orang lain, atau buah perjumpaan dengan orang lain? Kalau dia di dalam echo chamber ya mesti mengatakan suaranya baik dan benar! Sekarang bukan zamannya begitu, sekurang-kurangnya jangan begitulah. Ini berlaku bukan hanya untuk ilmu pengetahuan, melainkan juga agama, politik, bahkan peziarahan hidup setiap orang.
Oh iya, catatan keynote speakernya tadi mana sih? Beliau menyitir kata-kata Sydney Harris,”The real danger is not that computers will begin to think like men, but that men will begin to think like computers.” Itu juga salah satu akibat kalau orang hidup dalam echo chamber, jadi kayak komputer dengan sistem tertutup, sampai memperlakukan orang lain pun seperti memperlakukan barang melulu dengan pendekatan ilmu eksakta. By the way, simposium ini sepertinya berangkat dari keprihatinan bahwa ilmu humaniora dikesampingkan oleh politik pendidikan di Indonesia, hahaha. Kapokmu kapan.
Tuhan, jauhkanlah kami dengan rahmat-Mu dari echo chamber. Amin.
RABU BIASA XXII B/2
5 September 2018
Rabu Biasa XXII A/1 2017: Apa Nazarmu?
Rabu Biasa XXII C/2 2016: Tuman
Rabu Biasa XXII B/1 2015: Kalau Sembuh Trus Ngapain?
Rabu Biasa XXII A/2 2014: You are God’s Coworker
Categories: Daily Reflection