Monumen Emas

Konon, satu talenta itu senilai emas Tugu Monas. Jadi ceritanya ada tiga hamba yang dikasih masing-masing lima pucuk Tugu Monas, dua pucuk, dan sepucuk. Total yang diserahkan tuan para hamba itu ada 400 milyar rupiah, atau katakanlah 240 milyar rupiah sajalah, toh cuma mengatakan. Hamba pertama dapat 150 milyar, kedua 60 milyar, dan ketiga 30 milyar. Jebulnya, yang dapat 150 milyar bikin talenta itu jadi dua kali lipatnya, begitu juga yang dapat 60 milyar. Akan tetapi, yang ketiga ini tidak menuruti hukum deret ukur!

Saya lupa ini pelajaran kelas berapa, tetapi pokoknya ada pola yang bisa membuat persoalan lebih mudah dipecahkan. Mohon bantu pecahkan persoalan ini:
Jika 5α=10 dan 2α=4 dan 1α=1, berapakah α? Tidak mungkin dua, bukan?
Atau katakanlah jika 5+α=10 dan 2+α=4 dan 1+α=1, berapakah α? Tidak mungkin nol, bukan? Ha njuk gimana dong? Tak bisa dipecahkan secara sederhana, bukan? (Kalau tidak malah error)

Haiya, tapi kehidupan ini kan bukan hitungan matematika, Rom?
Lha iya, nèk kuwi mbahku ya ngerti.😂😂😂 Akan tetapi, mbah saya tidak tahu bahwa kalkulus sangat krusial untuk pengobatan via laser atau trigonometri untuk sistem navigasi atau operasi matematika untuk pembuatan game online. Tentu tidak semua simbah seperti mbah saya itu. Mbah Gugěl tahu segala, tapi Mbah Gugěl kan juga bergantung pada matematika? Jadi, gaběněr juga bahwa kehidupan ini bukan hitungan matematika.

Tak mengherankan, tuan itu geram terhadap hamba terakhir: karena dia bikin hidup yang semestinya surgawi malah jadi ribet. Bukan karena talentanya, melainkan karena tak ada kehidupan di dalamnya. Saya sudah tulis bahwa perumpamaan teks hari ini tidak bicara soal pengembangan bakat dalam posting Jojo Aku Padamu.

Siapakah hamba ketiga itu? Bisa jadi Anda dan saya.
Di sana-sini bisa dijumpai orang mendapat wajah cantik tanpa make up, wajah tampan tanpa operasi plastik. Tinggal menyediakan waktu saja, pebisnis visual bisa memakainya dan pemilik wajah cantik dan tampan tadi dapat duit dengan mudah. Tidak ada masalah dengan rezeki macam itu. 

Saya tak ambil pusing orang bergaji UMR atau semilyar per minggu. Problemnya bukan berapa besar modal yang dipunyai orang (meskipun tentu ada masalah praktis bagi yang bermodal kecil). Persoalannya terletak pada orientasi yang dihidupinya. Hamba yang ketiga ini tak punya orientasi: pendam saja hidupnya!

Kalau dapat rezeki 30 milyar, Anda mau pakai untuk apa? Kalau Anda pilih untuk menabungnya pun, tabungan itu untuk apa? Tinggal diselisik saja prioritasnya: kepentingan “aku” atau kepentingan yang lebih besar darinya. Semakin mayoritas atau hirarkinya mengarah ke “aku”, semakin dekatlah orang pada personifikasi hamba ketiga tadi, dan itulah yang bikin hidup ini jadi ribet, jadi chaotic. Orang-orang macam begini bisa bikin rusuh dengan trigger agama atau suku atau ras, cari selamat sendiri, dan membutakan diri dari kenyataan semesta yang jauh lebih agung dari hidup bahkan cita-citanya sendiri. Orang yang cari selamat sendiri ini tak peduli lagi persoalan besar ekologis yang ternyata disebabkan oleh akumulasi hal-hal sepele.

Tuhan, mohon rahmat kekuatan untuk beranjak dari kenyamanan diri dan berani bekerja keras sebagai pengabdian kami pada-Mu. Amin.


SABTU BIASA XXI C/1
31 Agustus 2019

1Tes 4,9-11
Mat 25,14-30

Sabtu Biasa XXI B/2 2018: Jojo Aku Padamu
Sabtu Biasa XXI A/1 2017: Relasi Sehat
Sabtu Biasa XXI A/2 2014: Kitorang Bodoh Semua, Flo