Menunggu adalah ciri khas pencari Allah, tetapi bukan menunggu seperti menantikan kabin MRT tiba. Pencari Allah mesti hidup dalam penantian, tetapi bukan seperti menanti giliran periksa dokter. Kenapa? Karena MRT dan dokter, dan entah apa lagi, pilihannya cuma ya atau tidak, cuma sudah atau belum. Semuanya ada dalam kronos, dalam waktu yang bisa dikuantifikasi dan terbatas seturut jadwal atau masa berlakunya.
Menunggu dalam konteks pencarian Allah, menunggu surga (atau neraka, apa bedanya toh?), pilihannya bukan lagi ya atau tidak, sudah atau belum, melainkan ya-tapi-tidak, sudah-tapi-belum, atau sebaliknya, tidak-tapi-ya, belum-tapi-sudah. Gimana sih tuh?
Saya tak tahu apakah bahasa medisnya anyang-anyangěn itu dysuria. Ada yang menerjemahkannya jadi anyang-anyangan, tapi orang Jawa memahaminya sebagai tawar menawar. Bagaimanapun terjemahannya, anyang-anyangěn tadi berarti Anda kěbělěs pipit, lalu ngibrit ke toilet, dan begitu sudah péwé bin posisi wuenak, cuma mak nyuk atau mak crut atau mak srut atau mak apalah yang isinya cuma seucrit. Lega sebentar, dandan rapi kembali ke pesta, eh… kěbělěs pipit lagi! Begitu seterusnya…
Begitulah gambaran belum-tapi-sudah. Sudah pipis, tapi belum juga.
Maksud Romo, pencari Allah itu seperti orang anyang-anyangěn tadi, gitu? 😂😂😂
Berarti pencari Allah itu sakit ya?😂😂😂
Memang. Kan sudah dibilang, bukan orang sehat yang membutuhkan dokter, melainkan orang sakit?
Pencari Allah memang sakit, dan pendosa. Yang tidak sakit dan bukan pendosa cuma mereka yang mencari dirinya sendiri. Sayangnya, pencari diri sendiri ini tak pernah mengakuinya. Lha iyalah, begitu orang mengakui diri sedang mencari dirinya sendiri, ia akan bersungguh-sungguh mencari dirinya yang sejati, dan di situlah ia mulai mencari Allah. Kalau mau sedikit lebih puyěng, bisa baca posting Metafisika Soto Pisah.
Pencari Allah seperti orang anyang-anyangěn dalam arti penantiannya aktif, tak berdiam diri, tetapi juga bukan dengan modal arogansi tersembunyi. Pencari Allah penuh perhitungan, dan menjalankan perhitungan itu dengan kegembiraan. Saya lupa kemarin baca di mana. Ada seorang pemuda yang sedang bermain dan ditanyai pembimbing rohaninya: kalau nanti setengah jam lagi hidupmu berakhir, apa yang kamu mau buat?
Jawabannya cool: ya melanjutkan bermainlah!
Tentu saja, itu memang waktunya dia bermain. Ia bermain sungguh. Waktunya belajar, ia belajar sungguh. Waktunya ritual, ia jalankan baik-baik. Waktunya istirahat, ia sungguh istirahat. Waktu kerja, ya ia kerja sungguh. Yang bikin orang gak happy hidupnya itu ya sebetulnya cuma karena pola hidupnya kacau. Waktunya main malah mikirin kerjaan, diminta kerja di waktu kerja malah mikirin mainan. Waktu istirahat mikirin pé èr, waktu mengerjakan pé èr malah tidur.
Mati bisa datang kapan saja, sewaktu orang sehat, sakit, untung, rugi, tua, muda, sedang main atau sedang bekerja. Begitu juga Surga bisa datang kapan saja. Dalam bayangan pemuda tadi, Surga itu sudah-tapi-belum. Kalau kematian datang pas waktunya dia bermain, ya datang aja toh?
Tentu, dia mengatakan begitu karena memang 24 jamnya sudah diperhitungkannya baik-baik untuk mencari Allah.
Tuhan, mohon rahmat kerendahan hati supaya setiap aktivitas kami senantiasa jadi pujian bagi-Mu daripada bagi diri kami sendiri. Amin.
JUMAT BIASA XXI C/1
30 Agustus 2019
Jumat Biasa XXI B/2 2018: Separuh Orang
Jumat Biasa XXI A/1 2017: Pemelihara Harapan Palsu
Jumat Biasa XXI C/2 2016: Faith Bank
Jumat Biasa XXI B/1 2015: Satpam 24 Jam
Categories: Daily Reflection