Ironi 3

Published by

on

Saya hendak menunjukkan ironi dan paradoks dalam kita membaca teks bacaan terakhir hari ini, yang menyodorkan perumpamaan tentang doa orang Farisi dan pemungut cukai. Seperti bacaan minggu lalu, meskipun tertulis topik ‘doa’ di situ, tema di baliknya bukanlah per se perkara doa berdoa. Nota bene, perumpamaan di situ jelas dimaksudkan bukan untuk orang-orang jahat yang tak pernah berdoa, melainkan bagi orang-orang seperti Anda dan saya, yang mungkin menganggap diri benar dan memandang rendah orang lain. Nah, jika Anda merasa tidak menganggap diri benar dan memandang rendah orang lain, tahanlah perasaan itu sampai nanti selesai membaca komentar ini.

Kebanyakan orang memakai teks ini untuk memberi nasihat moral supaya rendah hati, tidak menyombongkan diri, dan sejenisnya. Mungkin saja, kebanyakan orang itu mengambil contoh orang Farisi itu sebagai orang yang menyombongkan diri dan, sebaliknya, pemungut cukai sebagai contoh orang rendah hati. Di sini ironinya: mencontohkan orang Farisi sebagai sosok yang menyombongkan diri adalah justru contoh konkret bagaimana orang menganggap diri benar dan memandang rendah orang lain.
Kok isa gitu, Rom? Gak paham saya.
Begini. Silakan selisik dari mana datangnya penilaian bahwa orang Farisi itu menyombongkan diri. Apakah itu berasal dari teks bacaannya atau dari asumsi Anda sendiri tentang kesombongan dan kerendahhatian? Orang sombong itu seperti orang Farisi yang bla bla bla dan orang rendah hati itu seperti pemungut cukai yang bla bla bla. Jika begitu, Anda sendiri menilai bahwa orang Farisi sombong, dan, dengan demikian, tidak dibenarkan Allah (sesuai dengan yang dikatakan pada akhir teks). Dengan asumsi yang Anda benarkan itu, Anda memandang rendah orang Farisi. Ironis, bukan?

Di mana paradoksnya? Paradoksnya ada pada rahmat yang diterima bukan oleh orang yang ngudung mencari untuk dirinya sendiri melainkan oleh orang yang justru berempati kepada yang lain. Singkatnya, kita sebagai pembaca, jika berminat menerima rahmat, perlu belajar berempati, bukan hanya kepada pemungut cukai, melainkan juga kepada orang Farisi. Menariknya, jika Anda berempati pada orang Farisi, Anda dapat menangkap di mana kesulitan orang Farisi ini dan mungkin mengatasi kesulitan itu.
Yes, ia kesulitan menempatkan diri di hadapan Allah dan orang begini ini juga kesulitan menempatkan diri di hadapan orang lain yang diasumsikannya sebagai orang sesat, terkutuk, abnormal, dan sejenisnya. Ia kehilangan rahmat kerahiman Allah, yang justru memungkinkan orang untuk menyambut orang lain yang ia beri label negatif. Begitulah paradoksnya: semakin orang self-sufficient di hadapan Allah, semakin ia punya banyak akses untuk menilai diri taat beragama, semakin ia kehilangan akses rahmat.
Lah, kalau begitu, mending gak usah taat beragama dong, Rom?
You decide, tetapi menurut saya: mending gak usah menilai; cukup membuka diri saja pada kerahiman Allah itu, dan ikuti ke mana Ia menuntun kita.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk melihat karya cinta-Mu dalam suka duka hidup kami. Amin.


MINGGU BIASA XXX C/1
26 Oktober 2025

Sir 35,12-14.16-18
2Tim 4,6-8.16-18

Luk 18,9-14

Posting 2022: Auto Doa
Posting 2019: Recommended Prayer
Posting 2016: Dua Model PDKT

Previous Post
Next Post