Saya lupa di mana pernah menuliskan ungkapan ini: seseorang sungguh rendah hati sampai ia menyadarinya. Silakan ganti kata sifat rendah hati dengan kata sifat lain (sombong, tulus, cerewet, nakal), lalu simaklah apakah rumus perkalian dengan bilangan minus itu berlaku di situ #lohkokjadimatematika? Kok sepertinya simpel amat ya…
Perumpamaan hari ini tampaknya simpel juga, tetapi jebulnya tak sesederhana penuturannya: dua orang pergi berdoa, yang satu orang Farisi dan yang lainnya pemungut cukai. Bisa jadi, pembaca yang simpel akan menyimpelkan bahwa tokoh yang hendak disodorkan Yesus sebagai contoh pendoa yang baik adalah si pemungut cukai karena dia menyadari diri sebagai pendosa. Orang Farisi jadi tokoh antipati karena ia membenarkan diri seraya meremehkan pemungut cukai. Kamus Oxford memberi sinonim untuk kata Farisi ini: hipokrit. Sebagian mungkin gitu kali ya.
Terlepas dari prasangka buruk kita, kaum Farisi adalah golongan orang yang secara serius ingin membangun relasi yang baik dengan Tuhan. Dalam doanya, orang Farisi ini jujur, mengatakan apa adanya: bahwa dia sungguh-sungguh ingin melakukan perintah Allah, tidak seperti pemungut cukai di belakangnya. Ia bahkan berpuasa lebih daripada yang diwajibkan dalam hukum agama. Persepuluhan tidak diabaikannya. Bahkan, bisa jadi, orang Farisi ini tahu betul bagaimana orang-orang kecil mengabaikan pajak, dan orang Farisi ini membayarkannya. Jadi, secara moral maupun religius, orang Farisi ini bisa jadi model yang baik.
Problemnya bisa ditelusuri dari terjemahan ceritanya. Teks Indonesia berbunyi gini: “Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini.” Berdoa dalam hati itu kurang persis maksudnya gimana. Mari lihat teks Yunaninya. Frase πρòς ἑαυτòν (phros eauton) berarti toward himself, alih-alih berdoa dalam hati. Artinya, ini bukan verso Dio, melainkan verso se stesso alias kepada dirinya sendiri. Lha, di sinilah problemnya. Orang Farisi ini berkeyakinan berdoa kepada Tuhan, tetapi pada kenyataannya ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri!
Loh, dia nyebut-nyebut “Ya Allah” tuh, Rom?
Betul, tetapi Allah yang ada di kepalanya sendiri: yang mewajibkannya melakukan ritual ini itu, yang menginginkan kesempurnaan, yang tidak suka mereka yang melanggar perintah-Nya, dan seterusnya. Pokoknya, dia berdoa kepada Allah yang cocok dengan apa yang dipikirkannya gitu aja.
Ini berbeda dari si pemungut cukai yang mengambil jarak dan memukul-mukul dadanya (simbolik: yang biasanya mukul dada itu perempuan, tetapi dipakai untuk menggambarkan tindakan pemungut cukai: menyadari posisi kerapuhannya). Yang dipuji Yesus bukanlah kenakalannya sebagai pemungut cukai, melainkan kesadaran dirinya sebagai sosok yang jauh dari Allah. Itulah yang membuat dirinya dibenarkan: karena mengakui bahwa Allah adalah transenden, jauh mengatasi hidup manusia tetapi toh ambil bagian dalam hidup konkret orang.
Saya kira begitulah gagasan dasar doa yang benar: melihat bahwa di balik lebatnya buah, ada pohon yang memberikan kehidupan. Orang Farisi gagal melihat pohon dalam dirinya dan menganggap lebatnya buah itu adalah hasil usahanya sendiri untuk memenuhi aneka hukum moral dan agama.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk melihat karya cinta-Mu dalam suka duka hidup kami. Amin.
MINGGU BIASA XXX C/2
23 Oktober 2022
Sir 35,12-14.16-18
2Tim 4,6-8.16-18
Luk 18,9-14
Posting 2019: Recommended Prayer
Posting 2016: Dua Model PDKT
Categories: Daily Reflection