InfluenZakheus

Minggu lalu ditampilkan sosok tanpa nama yang berprofesi sebagai anggota dinas pajak, yang oleh warga diberi label pendosa. Minggu ini nongol Zakheus, seorang ἀρχιτελώνης, architelones. Kalau dalam struktur Gereja ada bishop yang adalah uskup dan ada juga archbishop, uskup agung, Zakheus ini bisa dibilang sebagai pimpinan pemungut pajak, dan kalau label pendosa cocok, dia bukan sekadar pendosa, melainkan pendosa agung. Ini juga bukan semata karena pekerjaannya mengutip duit rakyat, melainkan juga karena dia bisa membuat pengutipan duit itu sesuai dengan hukum. Dengan kata lain, ini bos maling legal, maling yang terlindung hukum; seperti kalau Anda jadi presiden njuk sebelum lengser Anda bikin plot supaya badan legislasi membuat undang-undang supaya mantan presiden mendapat jaminan tujuh turunan: Anda maling legal.

Zakheus dibenci orang bukan saja pertama-tama karena profesinya sebagai pemungut pajak, melainkan karena pajak itu terhubung dengan penjajahan Romawi. Legalitas kemalingannya terhubung dengan imperialisme yang memperbudak bangsa Israel saat itu. Tambahan lagi, untuk jadi kepala pemungut cukai itu, Zakheus melewati masa magang dengan sumpah jabatan yang ritualnya mengkhianati keyakinan religius bangsa Israel: kasih persembahan kepada dewa-dewi Romawi demi kesehatan Kaisar. Zakheus orang sukses, punya segala yang dimaui orang zaman now juga: harta dan kuasa.

Tapi ya gitu deh, ini problem klasik: ngapain orang yang sudah punya segala-galanya itu mencari sosok seperti Yesus, Buddha, Muhammad, dan lain-lainnya? Jawabannya juga sebetulnya sudah jelas: karena harta dan kuasa itu tidak benar-benar memberikan apa yang dijanjikannya. Uang tak membeli kebahagiaan, malah mungkin menjualnya. Kuasa tak membuat orang kebagian kebahagiaan, malah jadi rebutan. Zakheus sangat sadar akan hal itu dan dia tampak betul-betul ingin cari jalan keluar, sedemikian kepo pada sosok Yesus ini, yang jangan-jangan memberikan jalan keluar untuk keresahan batinnya. 

Barangkali orang zaman now perlu belajar dari upaya yang dibuat Zakheus untuk berjumpa dengan sosok seperti Yesus ini. Pertama, Zakheus tidak larut dalam membanjirnya orang yang mengikuti Yesus. Orang mesti detach dari spiritualitas kerumunan, yang sekarang sudah semakin dipermudah oleh aneka influencer. Nota bene: detach tidak berarti lepas dan tak berhubungan dengan influencer, misalnya, tetapi hidupnya tidak ditentukan oleh kata influencer. Artinya, berdikari, mandiri, otonom.

Kedua, Zakheus mencoba melihat dengan perspektif yang berbeda. Tahu diri pendek, dia cari tempat supaya bisa melihat sosok Yesus dari sudut pandang yang bahkan tak terlihat oleh kerumunan orang, dan ditemukannyalah pohon ara. Menariknya, pohon ini konon begitu lebat daunnya, sehingga dari sana orang bisa melihat ke arah lain tanpa terlihat dari arah lain itu. Kata tetangga saya, itu seperti sebangsa atheis, yang diam-diam menyembunyikan kerinduan batiniahnya meskipun dari luar ia tampak sebagai atheis. Zakheus tak berhenti dalam pergumulan atheis, ia terus mencari, tak puas dengan apa yang populer di TokTik atau Instakilo dan semacamnya.

Apa yang terjadi? Jebulnya terciduk juga! Padahal, Zakheus di atas loh, kok ya bisa-bisanya Yesus ini melongok ke atas! Ya bisalah, namanya juga cerita, wkwkwkwk….
Saya tidak mengatakan bahwa Yesus ini Allah, tetapi mari lihat baik-baik bagaimana Yesus ini menampakkan sosok Allah yang tak dipikirkan banyak orang. Dari perspektif Zakheus jelas dirujuk upaya orang yang mencari-cari Allah; ternyata dialah yang dicari-cari. Allah butuh ‘makan bareng’ Zakheus, dan ini jadi skandal yang bikin sewot sebagian pemuka agama. Maklum, di kepala banyak orang Allah itu di atas, manusia di bawah; manusia mencari Allah, bukan Allah yang mencari manusia.

Zaman now bisa jadi gerak pencarian itu terjadi dalam dua arah; dan bisa terjadi tlisipan karena di pihak manusia terjadi apa yang umumnya diyakini orang banyak tadi. Kalau kisah itu diteruskan, Anda ketahui bahwa banyak orang yang mengkritik Yesus, bahkan murid-muridnya tidak paham dengan apa yang dibuat gurunya. Bagi orang yang tak kasmaran dengan Allah, sulitlah menerima sosok Allah yang mencinta tanpa syarat, secara cuma-cuma, terutama mereka yang paling membutuhkan. Apa lagi alasannya kalau bukan orang sendiri tak mau mencinta tanpa syarat?

Zakheus mengalami cinta tanpa syarat itu dan pengaruhnya begitu besar bagi dirinya. Ia menyatakan tekad bulatnya (bukan berdiri ala-ala orang habis mabuk minum) untuk mewujudkan cinta tanpa syarat itu. Tampaknya, Zakheus semula tak memikirkan kaum miskin; pikirannya ya pajak pajak pajak, yang sebagian masuk kantongnya sendiri. Setelah pengalaman makan bareng ini, barangkali dia tahu bahwa dalam harta dan kuasanya ada bagian yang sepantasnya jadi hak mereka yang tak bisa punya posisi seperti dirinya.

Tuhan, mohon rahmat cinta-Mu yang tanpa syarat itu. Amin.


HARI MINGGU BIASA XXXI C/2
30 Oktober 2022

Keb 11,22-12,2
2Tes 1,11-2,2
Luk 19,1-10

Posting 2019: Lirikan Matamu
Posting 2016: Drama Interior