Lirikan Matamu

Perhatikanlah lirikan mata Anda: menarik hati atau memantik benci. Kalau ternyata menarik hati, barangkali Anda penggemar lagu ciptaan A. Rafiq. Kalau jebulnya memantik benci, entah apa yang merasuki Anda. Pokoknya, tatapan mata itu komunikatif, jadi cerminan jiwa yang kepo, penuh selidik, marah, benci, sayang, sombong, penuh antusiasme, kebosanan, dan sebagainya.

Dalam teks bacaan hari ini disodorkan dua lirikan mata bak pertandingan kandang tandang: tatapan Zakheus kepada Guru dari Nazareth dan sebaliknya. Tatapan Zakheus itu tatapan orang yang penasaran, penuh keingintahuan bin kepo mengenai sosok orang yang mestinya sudah jadi pergunjingan orang di sekitarnya: sosok penyembuh yang makan bersama orang-orang berlumuran dosa, yang memperhitungkan orang-orang tersingkir, yang hidupnya begitu bebas dari beban tradisi, dan seterusnya. Bisa jadi tatapan Zakheus ini juga memuat sedikit nuansa takut-takut, dan tak ada niat dalam dirinya untuk menjumpai Guru dari Nazareth. Cukuplah melihat dari kejauhan, juga dari atas pohon. Andaikan Zakheus punya drone…

Guru dari Nazareth, sebaliknya, menampilkan lirikan maut: tatapan cinta, yang jelas tidak dalam posisi memandang dari ketinggian ke kerendahan. Pada kenyataannya, Guru dari Nazareth di bawah dan Zakheus di atas. Ia tidak memandang Zakheus dengan nuansa penghakiman: woooe pendosa, bertobatlah. Pandangannya juga bukan pertama-tama menunjukkan kesabaran orang toleran: anak malang, gada yang mau těměnan sama kamu ya, sini sama aku. Akan tetapi, tatapan guru ini juga bukan pandangan dingin bersyarat: kalau kamu mau tobat, aku akan mampir ke rumahmu. Nehi nehi nehi. Tatapan cinta Guru ini tidak menyorongkan syarat, tidak menghukum. Ini adalah lirikan seorang pemimpin transformatif, yang menggerakkan orang dan ndelalahnya menjadikan Zakheus sebagai pusat perhatian: ia berubah dari sosok yang terpinggirkan menjadi tuan rumah bagi Guru dari Nazareth.

Lirikan cinta tidak menempatkan orang lain sebagai objek tindakan amal atau belas kasih yang pasif tinggal menerima apa yang diberikan. Lirikan cinta tak membuat sasarannya jadi robot terprogram, tetapi mengandaikan pribadi yang aktif: tergopoh-gopoh dalam kegirangan menyiapkan apa yang bisa disiapkannya untuk menyambut Guru dari Nazareth. Sang Guru tidak mempersoalkan lirikan kepo Zakheus. Pokoknya ia masuk dalam relasi perjumpaan itu tanpa macam-macam syarat.

Di sini, kalau Anda mau merenung, bisa menjawab pertanyaan tetangga sebelah saya:
1. Apakah Anda merasakan lirikan cinta Allah terhadap diri Anda?
2. Bagaimana Anda memandang pribadi lain: lirikan cinta, julit, dendam, amarah, cemburu?

Tentu saja, pertanyaan pertama itu sangat fundamental bagi orang beriman. Jika orang punya dasar untuk menjawab secara positif pertanyaan itu, pertanyaan kedua bisa dipastikan sejalan dengan jawaban pertanyaan pertama. Orang yang tahu benar bahwa dirinya dicintai Allah, akan memandang yang lain-lainnya sebagai manifestasi cinta Allah atau ajang untuk menyatakannya. Perilaku moral, doa, agama, hanyalah konsekuensi dari kesadaran akan cinta Allah tadi. Di situ, bahkan ritual agama yang rutin sekalipun, tidak jadi beku dalam formalisme, tetapi merupakan ungkapan syukur sesungguhnya dari orang-orang yang dicintai Allah.

Maklum, iman adalah persimpangan atau titik temu antara dua lirikan mata: yang ilahi dan yang insani. Ini bukan cuma lirikan kebetulan di terminal atau mal, melainkan tatapan yang membangun relasi yang hidup dengan begitu banyak Zakheus zaman now.
Tuhan, bukalah hati kami untuk menyadari tatapan cinta-Mu melalui pengalaman hidup kami. Amin.


HARI MINGGU BIASA XXXI C/1
3 November 2019

Keb 11,22-12,2
2Tes 1,11-2,2
Luk 19,1-10

Posting 2016: Drama Interior