Sewindu yang lalu saya berkesempatan ziarah ke makam para Wali Sanga (kalau dibaca orang Jogja jadi Wali Songo dengan vokal ‘o’ pada kata pojok) dan di tempat-tempat itulah saya merayakan apa yang dirayakan Gereja Katolik hari ini: mengenangkan arwah semua orang beriman. Saya tidak mampu merekam seluruh kekayaan rohani para Wali Sanga yang begitu berlimpah ruah itu karena memang tujuan saya berziarah bukan untuk merekam, melainkan menyerap warisan hidup mereka.
Saya sangat bersyukur bahwa di tempat ziarah itu tak ada agen sweeping, meskipun kalau ada sweeping dan saya tidak diperkenankan berdoa di dekat makam para kudus itu juga tidak apa-apa, karena syukur saya lebih-lebih berasal dari kemurahan Allah yang memungkinkan hamba-hamba-Nya menapaki jalan kekudusan mereka masing-masing. Itu pula yang membuat saya merasa punya persekutuan dengan mereka tanpa sekat yang dikonstruksi oleh orang-orang yang masih membutuhkan oksigen untuk bikin kavling itu. Dari hidup para Wali Sanga itu saya mengerti apa artinya bahwa ‘anak manusia’ itu turun dari surga bukan untuk melakukan kehendaknya, melainkan kehendak Dia yang telah mengutusnya.
Kok isa meyakini bahwa hidup mereka itu adalah manifestasi kehendak Dia yang mengutus mereka?
Ya sederhana sekali: karena mereka membuka tabir misteri Allah dalam hidup yang serba biasa dan terpahami oleh orang biasa seperti saya. Memang sih, saya tetap butuh informasi mengenai tulisan-tulisan aksara Jawa dan Arab di beberapa tempat ziarah itu, tetapi itu tidak berarti bahwa misteri Allah tak terpahami sama sekali. Saya masih ingat frase bahasa Jawa yang dilekatkan pada Sunan Kalijaga: urip iku urup. [Sudah saya tulis pada posting Walk Out sih.]
Bukankah rumusan itu, yang pastinya dihayati oleh orang suci itu, juga membantu saya semakin mengerti AMDG? Tak ada orang yang menghayati AMDG dan hidupnya redup karena prinsip magis tak kan mengizinkannya. Prinsip magis menanting orang setiap saat mencari mana yang lebih membawa kehidupan, bagi diri sendiri maupun bagi semesta. Bahwa nasihat Sunan Kalijaga terpelihara dan sampai ke telinga saya, itu berarti apinya tak redup bersama wafatnya, tetapi terus menyulut api-api yang lain.
Saya semakin meyakini apa yang dinyatakan dalam syahadat Gereja soal persekutuan para kudus. Ini hanyalah istilah teknis untuk menunjuk kenyataan bahwa orang kudus itu bukanlah mereka yang “bukan saya, bukan orang yang hidup di RT/RW sini, bukan orang tua yang membanting-banting tulang mencari nafkah [kasihan tulangnya]”, melainkan siapa saja yang bersekutu dengan orang yang menjalankan kehendak Allah tadi. Artinya, tak ada sekat antara orang beriman yang sudah mati atau yang masih hidup. Kalau sekat itu ada, tentu pembuatnya adalah orang yang tak beriman sendiri, yang tak mau bersekutu dengan pribadi-pribadi suci yang menjadi saksi misteri ilahi itu. Orang beriman percaya bahwa juga mereka yang telah beralih model hidup masih connect dengan cara yang bahkan tak lagi diketahui orang zaman now. Saling mendoakan.
Tuhan, berilah kami hati yang lapang sehingga dapat belajar dari para pendahulu untuk merealisasikan cinta-Mu. Amin.
PENGENANGAN ARWAH SEMUA ORANG BERIMAN
(Sabtu Biasa XXX C/1)
2 November 2019
2Mak 12,43-46
1Kor 15,12-34
Yoh 6,37-40
Posting 2018: Don’t Run Away
Posting 2017: Arwah Orang Hidup
Posting 2016: Doa Arwah, hiii…
Posting 2015: Cuci Jiwa Gratis
Posting 2014: Di Mana Arwah Umat Beriman Itu?
Categories: Daily Reflection