DKI Jaya Enda

Kemarin sudah saya singgung bahwa banyak orang ingin hidup suci tetapi tak tahu menyiasati jalan menuju kesucian itu. Salah satu contohnya adalah kepala daerah yang terlatih untuk ngělès. Barangkali latar belakang pendidikannya memang terdominasi oleh les-lesan. Dalam istilah Jawa ada kata mirip Jepang: endo, tetapi saya kira semestinya ditulis ‘enda’ karena vokal di belakang bunyinya ‘o’ seperti pada kata poros atau frog. Enda berarti ngělès tadi, bukan dalam arti les mata pelajaran tertentu, melainkan menghindar dari tanggung jawab atau mlipir atau mengalihkan perhatian atau berkelit atau pokoknya sebisa mungkin mengelak supaya tak jadi sasaran kritik. Nah, bolehlah kalau orang terampil enda ini diberi kualifikasi jaya, yang Anda sudah tahu artinya. Pada zaman Dilan dulu, yang punya kualifikasi jaya enda ini adalah DKI alias Dono Kasino Indro (nah, kalau dalam aksara Jawa mestinya dituliskan Dana Kasina Indra; tapi tak perlu berpusing ria). Maka, boleh dong saya beri judul DKI Jaya Enda, lagipula belakangan ini memang kelihatan di DKI ada representasi pribadi yang jaya enda ini.

Entah mengapa saya punya perhatian pada DKI. Mungkin karena di situlah saya dibesarkan bunda dan meskipun sekarang kalau pergi ke sana saya tak lagi merasa ‘pulang’, saya toh tetap sedikit banyak memperhatikannya. Lha gimana lagi, jaya enda: sudah jelas yang merancang robot adalah manusia sendiri, begitu terjadi kekacauan malah yang disalahkan robotnya!
Percayalah pada saya, kalau pemimpin Anda kualitasnya jaya enda dan Anda mengikuti perilakunya, Anda memasukkan diri Anda ke dalam golongan mereka yang tidak tahu menyiasati jalan menuju kesucian itu. Dengan kata lain, Anda tak bahagia dalam hidup Anda karena yang bisa Anda lakukan hanya menghindar dan menghindar.

Kiranya Anda masih ingat guyonan ala Gus Dur mengenai siapa yang paling dekat dengan Tuhan. Kalau lupa, silakan baca pada tautan ini. Anda mengerti bahwa itu candaan, dan memang kedekatan dengan Allah tidak memandang agama, bagaimana ajaran agama itu menyodorkan label kepada Allah. Dengan kata lain, kebahagiaan tidak terikat pada agama tertentu. Kemarin sudah saya singgung letaknya ada pada kerekatan dengan Allah. Akan tetapi, juga dari insight lem Hefrin (jebulnya kalau dua huruf diapit asterisk itu berubah jadi huruf miring di sini) bisa kita mengerti bahwa kerekatan itu mengandaikan bahwa lemnya sudah terlebih dulu merekat baik dalam permukaan yang hendak ditempelkan itu. Artinya, ia beres dulu dengan ‘dirinya sendiri’, transparan terhadap diri sendiri, tidak jadi jaya enda tadi.

Orang yang tidak transparan terhadap diri sendiri, belum beres dengan dirinya sendiri, akan berusaha jadi jaya enda dan meletakkan kesalahan sebagai objek “di luar sana”, apa pun namanya. Ini tak sejalan dengan insight bacaan hari ini mengenai sabda bahagia, yang tak pernah mengambinghitamkan yang “di luar sana”. Memang membela kebenaran itu bisa berujung fitnah (anak kemarin sore cari panggunglah, tak tahu sopan santunlah, cari mukalah), tetapi orang happy tak mempersoalkan fitnah itu. Ia tetap bergerak mendaki jalan kesucian.

Janganlah kami dipisahkan dari kebenaran-Mu, Tuhan. Amin.


HARI RAYA SEMUA ORANG KUDUS
(Jumat Biasa XXX C/1)
1 November 2019

Why 7,2-4.9-14
1Yoh 3,1-3
Mat 5,1-12a

Posting 2018: Live Each Day
Posting 2017: Semua Orang dari Kudus

Posting 2016: Sudah
Happy?
 
Posting 2015: Tragedi Orang Kudus

Posting 2014: Menteri-menteri Nan Suci