Adakah hal yang lebih subversif zaman now ini daripada gratuity? Sepertinya memang gratuity itu antikemapanan karena kemapanan senantiasa jadi tujuan kompromi politik yang merambah setiap lapis kehidupan bersama. Ya mau apa lagi, memang stabilitas itu diperlukan karena tanpa stabilitas, yang antikemapanan itu tadi bikin segala yang mapan hancur dan, kalau begitu, tak ada lagi pijakan untuk antikemapanan, bukan? Bayangkan suatu bangsa yang terus menerus berkelahi sampai seluruh bangunan luluh lantak dan tak ada lagi sumber daya yang bisa dimanfaatkan: mau antikemapanan bagaimana wong sudah tak ada lagi kemapanan?
Gratuity memang antikemapanan tetapi tetap menjaga kemapanan. Paradoksal, tetapi seperti Anda tahu, paradoks dipecahkan dengan beranjak pada level yang berbeda. Artinya, mapan di satu ranah, tetapi tidak di ranah yang lebih ‘tinggi’. Yang memungkinkan orang beranjak dari ranah yang satu ke ranah yang lainnya adalah gratuity tadi. Apa sih gratuity ini? Mengumpulkan banyak modal sehingga suatu saat bisa memberikan apa saja secara cuma-cuma? Tentu tidak, karena kalau begitu, mereka yang tak punya modal tak akan punya gratuity. Padahal, gratuity ini adalah undangan Guru dari Nazareth untuk semua orang, entah bermodal besar atau tanpa modal. Modal besar tanpa gratuity tak bermakna lebih dari gratuity tanpa modal. Gratuity adalah koentji. Di manakah letak kuncinya?
Cinta orang beriman tidak dimotivasi oleh kekosongan yang senantiasa minta diisi oleh orang lain atau sesuatu yang lain. Sebaliknya, cinta orang beriman adalah ekses dari kepenuhan dirinya. Gratuity menemukan sumbernya dari cinta seperti itu, cinta yang meluap-luap karena kepenuhan hidup, bukan cinta yang bercuap-cuap minta diperhitungkan atau diperhatikan atau dipuji atau dihargai, dan silakan diteruskan litaninya.
Dengan kata lain, seperti sudah disinggung dalam posting Lirikan Matamu kemarin, gratuity muncul karena orang terlebih dulu sadar, tercerahkan bahwa hidupnya terselenggara karena cinta Allah yang melingkupinya, tanpa perlu ia membayarnya.
Cinta Allah gimana, Rom? Hidup saya pahit, kelahiran saya bahkan tak diinginkan oleh orang tua saya, teman-teman menjauhi saya, orang-orang yang semestinya dekat dengan saya malah mencela saya. Tak ada cinta dalam diri saya!
Persis di situlah problemnya. Cara pandang itu tidak subversif karena tidak memuat gratuity. Cinta yang dicuap-cuapkannya berlandaskan kekosongan yang minta diisi oleh orang lain, bukan cinta yang muncul dari kedalaman diri, dari kesadaran bahwa oksigen itu tersedia secara cuma-cuma, bahwa seiring waktu metabolisme tubuh melangsungkan hidup tanpa kendali langsung untuk mengganti sel yang telah usang, dan seterusnya.
Gratuity tidak menyangkal adanya kekuatan gelap, tetapi mengatasi kekuatan itu dengan memotong litani keluhan, litani sumpah serapah, litani ketidakpuasan, dan sejenisnya.
Gratuity memungkinkan orang beriman melakukan kebajikan semata karena kebajikan itu perlu dilakukan, tanpa menghitung keuntungan secuil pun, bahkan tanpa bergantung pada eksistensi utopis surga-neraka. Gratuity memungkinkan sobat ambyar melawan keambyarannya sendiri karena di hadapan gratuity bahkan keambyaran itu tak boleh mapan.
Tuhan, ajarilah kami senantiasa untuk dapat bersyukur atas rahmat kehidupan yang perlu kami pelihara. Amin.
SENIN BIASA XXXI C/1
PW S. Karolus Borromeus
4 November 2019
Senin Biasa XXXI B/2 2018: Sumur Buaya
Senin Biasa XXXI A/1 2017: Makan Berapa Piring?
Senin Biasa XXXI C/2 2016: Ada Rahmat Malu?
Senin Biasa XXXI A/2 2014: Pilih Kinerja DPR Apa Menteri?
Categories: Daily Reflection