Sudah sejak lama saya terganggu oleh konsep dalam agama yang menunjukkan suatu privilese: bangsa atau umat pilihan Allah, misalnya. Sejak kapan Allah ikut pemilu menentukan umat atau bangsa mana yang jadi idola-Nya?
Saya tidak sedang bicara mengenai agama tertentu, tetapi sedang mewaspadai cara berpikir di balik konsep yang dipakai agama. Soalnya, kalau tidak waspada, orang beragama bisa jadi tuman, lalu kebablasěn alias kelewatan bin keterlaluan menganggap diri dan agamanya sebagai makhluk ciptaan terbaik atau lebih baik dari yang lainnya.
Kalau posting hari-hari kemarin belum cukup menggarisbawahi soal gratuity atau gratuitousness, baiklah saya sitirkan kata-kata salah seorang pemikir Inggris, Samuel Johnson: The true measure of a (wo)man is seen by how (s)he treats someone from whom (s)he can receive absolutely nothing in return.
Dari situ pula saya mencoba memahami teks bacaan hari ini bukan dengan konsep privilese, melainkan dengan paradigma rahmat bin hidayah.
Ceritanya kan sederhana. Dalam suatu setting perjamuan makan, ada orang yang berkomentar kepada Guru dari Nazareth tentang Kerajaan Allah. Entah orang ini cari muka atau tidak, tak usah dibahas, tetapi mungkin masuk akal juga bahwa dia berseloroh atau serius mengatakannya karena tahu bahwa Guru dari Nazareth ini suka omong soal Kerajaan Allah. Ia membuat analogi yang seakan-akan bikin wacananya jadi suci gitu deh: sehappy-happynya orang pesta, pasti lebih happy lagi orang yang kelak dijamu di surga oleh para bidadari dan bidadara.
Mungkin orang itu berharap mendapat peneguhan alias konfirmasi atau pembenaran dari Guru yang hobi ikut perjamuan itu.
Jebulnya, Guru itu malah mengatakan yang sebaliknya, tetapi dengan perumpamaan sederhana: seseorang mengadakan pesta besar dan mengundang banyak orang, tetapi dari sekian banyak itu tak sedikit yang berdalih, minta maaf tak bisa datang ke perjamuan. Alhasil, masih banyak tempat kosong, bukan? Lalu orang itu meminta hambanya untuk menarik orang-orang pinggiran, yaitu kelompok lemah, miskin, tersingkir untuk ikut perjamuan. Semua sudah masuk, tapi masih ada tempat kosong juga. Lalu, orang ini menyuruh hambanya supaya pergi ke jalan-jalan dan persimpangan dan memaksa orang di situ untuk ikut perjamuan. Loh, perjamuan kok maksa? Haiya, tapi ini perumpamaan, jadi pesan utamanya bukan pemaksaannya. Yang digarisbawahi adalah kalimat terakhir: tak seorang pun dari mereka yang diundang itu akan menikmati jamuannya!
Jadi, di manakah letak privilesenya? Di manakah letak keterpilihan umat, bangsa, atau agama tertentu? Tak ada! Bahkan jelas di situ dikatakan bahwa mereka yang diundang itu tak akan menikmati jamuannya. Siapakah mereka?
Bisa jadi malah orang-orang beragama: sontoloyo yang merasa diri pantas mewarisi hak istimewa dalam perjamuan surgawi, orang songong yang meyakini bahwa surga itu privilese, bukan lagi karunia atau hadiah. Nah, kalau omong soal hadiah, tahulah Anda bahwa kuncinya ada pada relasi dengan pemberi hadiah. Mereka yang diundang pesta tadi tak punya kohesi yang baik dengan penyelenggaranya. Hadiah jadi tak bermakna, dalih dan maaf basa-basinya.
Tuhan, izinkanlah kami senantiasa dekat dengan-Mu. Amin.
SELASA BIASA XXXI C/1
5 November 2019
Selasa Biasa XXXI B/2 2018: Ayo Hijrah (ke) Jokowi
Selasa Biasa XXXI A/1 2017: Selalu Ada Alasan
Selasa Biasa XXXI B/1 2015: R.S.V.P.: Bales Dong
Selasa Biasa XXXI A/2 2014: Merpati Tak Pernah Ingkar Janji
Categories: Daily Reflection