Bersih-Bersih

Saya tak tahu apa yang dirasakan presiden RI saat ini, yang punya wawasan dari Sabang sampai Merauke dengan kepentingan politik yang begitu beragam, dengan sisa-sisa akar feodalisme yang meninggalkan kultur mediocre di setiap lapisan. Yang saya tahu persis, saya merasa discouraged: berjibaku menulis tentang visi keadilan sosial di tengah-tengah bangsa yang menjadikan visi itu sebagai slogan belaka. Mau apa lagi, political will tidak bergantung pada sebagus-bagusnya teori atau visi.

Saya teringat kisah Nabi Muhammad yang, untuk kesekian kalinya menghadapi orang-orang Quraysh, menyodorkan strategi untuk melawan kaumnya sendiri itu. Perintahnya jelas: kunci kemenangan ada pada backup regu pemanah supaya mereka tidak diserang dari arah belakang; maka, regu pemanah ini harus mempertahankan posisinya apalagi jika tanda-tanda kemenangan sudah di depan mata. Betul saja, dengan jumlah petarung yang lebih sedikit dari kaum Quraysh, pengikut Nabi ini sudah hampir mengalahkan kaum Quraysh di Uhud.

Akan tetapi, pada momen orang-orang Quraysh mulai terpukul mundur, para anggota regu pemanah ini melihat sekelompok perempuan kaum Quraysh berlari hendak meninggalkan medan tempur. Dari laporan yang saya baca memang ada frase bahwa perempuan-perempuan Quraysh itu ‘menyingkapkan pakaian’ (lha nek ora ngono njuk piye arep mlayu kenceng!), tetapi yang lebih menarik perhatian saya ialah bahwa salah seorang dari regu pemanah itu meneriakkan hal lain yang dianggap lebih penting, yaitu perhiasan yang dikenakan perempuan-perempuan itu. Ini adalah aset rampasan perang yang sangat berharga. Tentu dalam regu itu terjadi pertentangan karena ada yang ingat betul apa yang diperintahkan Nabi Muhammad supaya mereka bertahan di posisi mereka untuk memastikan tidak ada pasukan Quraysh yang menyerang dari belakang. Apa daya, akhirnya regu pemanah ini mengejar perempuan-perempuan Quraysh dan betul saja, pasukan Quraysh memukul para pengikut Nabi Muhammad dan menanglah pasukan Quraysh, seakan menjadi pembalasan kekalahan mereka pada saat perang Badar.

Bisa jadi, Anda yang gemar nasihat moral akan menarik ‘moral cerita’ itu begini: makanya, jadi orang tuh jangan mata duitan, jangan main perempuan, yang sabar, dan sejenisnya. Akan tetapi, kalau Anda melihatnya dengan visi Alquran, Anda akan mengerti bahwa poinnya ialah sebagai orang beriman, tuntutan utama bagi orang yang mau ‘sukses’ ialah mendengarkan dan menaati perintah Allah dan utusan-Nya. Yang lain-lainnya, termasuk ‘moral cerita’ tadi, hanyalah dampak dari visi Alquran tadi.

Ini mengingatkan saya pada kisah yang lebih tua, ketika Musa memimpin perang melawan suku Amalek. Saya lupa detailnya, tapi pokoknya setiap kali Musa mengangkat kedua tangannya ke atas, mengarah pada Allah junjungannya, tentara Israel memukul pasukan Amalek; dan setiap kali kedua tangannya turun, tentara Israel didesak oleh pasukan Amalek. Akhirnya, Yosua dan Harun, kalau saya tak salah ingat, menopang kedua tangan Musa supaya tetap mengarah ke atas dan Israel menang.

Saya tak punya kepentingan untuk membela kebenaran kisah-kisah itu, tetapi poinnya berbunyi sama: carilah dulu apa yang dikehendaki Allah, apa yang diperintahkan Allah dan karena itu, ikutilah utusan Allah itu. Yang lain-lainnya akan ditambahkan kemudian. Kalau tidak, kehancuran di ambang pintu. Dalam konteks ini saya menangkap maksud bersih-bersih. Di luar konteks ini, yang ada akhirnya kembali lagi ke zaman jahiliah: balas dendam, korup sana korup sini, fitnah sana fitnah sini.

Zaman kebodohan ini juga bisa merujuk pada zaman now, bagi mereka yang menghidupi praktik-praktik pagan atau kafir bahkan dalam agama sendiri! Praktik paganisme di Ka’bah jelas menunjukkan hal itu: semuanya meminta ilah mereka memenangkan apa yang mereka inginkan. Apa bedanya ini dari pembalas dendam, koruptor, pemfitnah yang sehari-hari bergelimangan harta dengan berbagai cara kotor dan satu waktu memenuhi panggilan ke tempat ibadat untuk mengelabui jemaat? Mereka semua ingin allah berpihak pada mereka dan tunduk pada keinginan mereka.

Teks bacaan hari ini menunjukkan bahwa Allah tentu lebih qualified sebagai hakim daripada hakim pagan yang berlama-lama membenarkan perempuan yang terus menerus mendesakkan haknya. Kalau memang hak perempuan itu dilanggar, Allah tak akan menunda-nunda pembenarannya. Akan tetapi, di akhir kutipan ada pertanyaan: jika Anak Manusia itu datang, adakah ia mendapati iman di bumi ini?

Persis itulah yang dirujuk sebagai doa tiada henti: perkara beriman di bumi, perkara (terlebih dahulu) menyesuaikan kepentingan diri dengan kepentingan Allah sendiri. Ini berarti bersih-bersih supaya setiap orang beriman justru memikirkan rezeki hari ini bagi semua. [Itu mengapa dulu saya tulis posting dengan judul Jakarta-Indonesia PP] Jika tidak, NKRI ini dipertahankan secara ideologis sebagai medan jarahan perang belaka.

Tuhan, mohon ketekunan untuk berdoa tiada henti sehingga kehendak-Mu sungguh meresapi hati kami semua. Amin.


HARI MINGGU BIASA XXIX C/2
16 Oktober 2022

Kel 17,8-13
2Tim 3,14-4,2
Luk 18,1-8

Posting 2019: Connectedness
Posting 2016: Doa Menyinyirkan Keadilan