“Ya Tuhan, saya tidak pantas [bahwa] Tuhan datang pada saya, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan selamat”
Memang, Anda bisa sembuh dari sakit, tetapi belum tentu selamat. Sebaliknya, Anda bisa saja selamat, tetapi belum tentu bebas dari sakit. Buktinya seabrek. Secara sepintas, narasi teks bacaan hari ini menyodorkan salah satunya: sepersepuluh saja yang secara eksplisit bersyukur. Jangan-jangan, itu adalah persentase syukur yang hidup dalam diri kebanyakan orang! Jika betul begitu, bisa jadi persentase keselamatannya juga cuma sepersepuluh. Rupanya, diskon tidak hanya ada di mal atau dunia perbelanjaan, tetapi juga dunia keselamatan. Teks hari ini menunjukkan paradoks: yang selamat malah orang yang dicap kafir alias pagan.
Penyakit kusta pada zaman Yesus menjadi penyakit yang secara sosial jauh lebih parah dari Covid-22. Itu bikin orang jadi seperti mayat berjalan; tak ada komunikasi sebagai manusia hidup. Mereka kehilangan mediasi indrawi untuk dapat mengalami cinta lewat sentuhan fisik. Ini bisa berdampak buruk juga bagi perkembangan iman.
Mari kita cermati kisahnya yang sangat sederhana. Sepuluh orang kusta minta belas kasihan dari Yesus, dan sosok terakhir ini meminta mereka menghadap imam. Ini sejalan dengan tradisi keagamaan mereka: orang kusta yang sembuh mestilah datang ke imam yang memberikan penilaian akhir dan membebaskan orang itu dari kenajisan. Nah, sepuluh orang itu kan oleh Yesus cuman diminta pergi ke imam, gak diapa-apain. Gila apa, wong minta belas kasihan karena sakit kusta malah disuruh ke imam, apa gak malah dimarahi imamnya karena mereka belum sembuh?
Akan tetapi, mereka toh tetap mengikuti petunyuk Yesus dan karena itu, di perjalanan malah mereka sembuh. Salah satu dari mereka tidak menuntaskan petunyuk Yesus. Masuk akal: dia orang kafir, apa urusannya dengan tradisi keagamaan Yahudi, kan? Yang sembilan, andaikan saja semuanya mengikuti petunjuk Yesus sesuai dengan standar operasional agama Yahudi saat itu: datang ke imam untuk declare bahwa sudah sembuh. Bisa juga sih yang sembilan itu tidak datang juga ke imam; tidak diceritakan dalam narasi karena rupanya bukan itu poin pokoknya.
Andaikan yang kedua itu yang terjadi, malah bisa jadi gambaran yang lebih miris: agama no, Tuhan juga no!
Bisa jadi kan, pada momen tertentu orang bisa mengabaikan tradisi agama justru supaya ia mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang sesungguhnya. Atau lebih lunak lagi: bisa jadi pada momen tertentu orang mesti mengebawahkan tradisi keagamaan di hadapan kemanusiaan. Akan tetapi, bisa terjadi orang sebegitu bencinya pada agama, tetapi tetap juga tak bahagia karena tidak menjadi seperti orang Samaria tadi.
Hal yang serupa bisa terjadi pada orang yang sebegitu cintanya pada agama sehingga begitu taat, tetapi hanya sejauh ketaatan formal: Tuhan memberi mandat anu dan aku tinggal melakukannya. Tampaknya baik, tetapi bisa jadi pengkhiatan terhadap iman yang mendalam. Iman yang mendalam justru ditunjukkan teks dalam diri orang kafir: ikuti saja petunyuk Yesus, tetapi karena mengalami kesembuhan, ia berbalik kepada Yesus untuk mengungkapkan syukurnya, sudah tak terpikirkan olehnya petunyuk itu sendiri. Ketaatan substansial pada momen tertentu bisa mengabaikan yang formal, yang muncul demi memenuhi aturan semata.
Tuhan, mohon rahmat untuk mengembangkan potensi sepuluh persen syukur kami dalam hidup ini. Amin.
MINGGU BIASA XXVIII C/2
9 Oktober 2022
2Raj 5,14-17
2Tim 2,8-13
Luk 17,11-19
Posting 2019: Tuna Sathak Bathi Sanak
Posting 2016: Katanya Siap, Kok…
Categories: Daily Reflection