Meskipun bulan dan matahari yang dilihat warga Bumi ini sama, pada kenyataannya orang hidup dalam separasi, sebagaimana teks bacaan hari ini mengisahkan sepuluh orang sakit lepra yang mesti memenuhi hukum agama supaya mereka tidak bikin orang sehat jadi najis. Penderita sakit lepra ini tak perlu dibaca secara letterlijk sebagai penderita kusta zaman now. Ada banyak nama untuk sakit lepra masa kini: marginalisasi, kemiskinan, kekeringan, kelaparan, fundamentalisme, eksploitasi, monopoli, korupsi, imigrasi, rasisme, perang, ajaran sesat, dan sebagainya.
Saya sendiri menengarai penyakit kusta juga mengambil saluran teknologi komunikasi. Semua teknologi dimaksudkan untuk mempermudah pekerjaan manusia, tetapi saking mudahnya, bisa jadi kemampuan manusia sendiri tak sanggup mengimbanginya. Kalau Anda punya komputer dengan processor Intel Core i9 atau AMD Ryzen 9, dengan RAM 32gb saja, mungkin Anda bisa lupa apakah Anda sudah menyalin suatu file atau ke folder mana file tadi disalin, saking cepatnya proses berlangsung. Tentu ini bukan masalah besar karena tak secara langsung melibatkan misteri hidup manusia, bisa diatasi dengan teknik tertentu.
Yang bikin runyam dan jarang diperhatikan atau, mungkin lebih tepatnya, dihindari orang ialah teknologi komunikasi yang memungkinkan orang tampak guyub atas nama grup tapi redup di luar grup. Kenapa begitu? Sebagaimana orang beraninya keroyokan dan nyalinya ciut ketika mesti melawan sendirian, begitulah juga orang beragama yang tak punya kepercayaan diri karena hidup keagamaannya cuma mengandalkan apa kata orang dan tak pernah menghidupi nilai yang disodorkan agamanya sendiri. Teknologi komunikasi yang seyogyanya mengikis sekat pemisah, bisa jadi justru menciptakan sekat pemisah baru karena orang kehilangan konteks hic et nunc, di sini dan kini.
Salah satu sikap dasar yang memungkinkan orang memelihara konteks hic et nunc ialah sikap berterima kasih: syukur bahwa Allah hadir dari momen ke momen. Ini bukan sekadar soal mengucapkan terima kasih karena telah menerima sesuatu, melainkan soal syukur bahwa setiap momen itu adalah medan manifestasi kemurahan dan panggilan Allah sendiri. Syukur sebagai disposisi dasar orang beriman ini secara ironis justru ditunjukkan orang Samaria. Bagaimana mungkin orang yang dicap kafir itu justru, sebaliknya, menunjukkan dirinya sebagai orang yang tahu terima kasih?
Entahlah. Barangkali karena dia tak punya kultur seperti orang Yahudi yang hidupnya berpusat pada mengejar materi sebagai tanda keberkahan dari Allah. Dia mungkin menghayati ungkapan Jawa tuna sathak bathi sanak (gak untung gapapa yang penting nambah persaudaraan). Orang seperti ini kiranya lebih mudah berterima kasih karena kekayaan material bukan segala-galanya baginya sehingga kalau memperoleh sedikit saja, senangnya bukan main.
Selain itu, bisa jadi orang Samaria ini tak merasa dirinya berhak mendapat kesembuhan. Orang Yahudi, sebaliknya, merasa berhak memperoleh kesembuhan (lha wong merekalah yang percaya kepada satu Allah). Jadi, kalau disembuhkan, ya memang sudah seharusnya begitu.
Di akhir teks, malah Guru dari Nazareth mengatakan bahwa iman orang kafir ini menyelamatkannya! Betul juga, dia sembuh lahir batin, tidak seperti sembilan orang beragama yang fisiknya sembuh, tapi batinnya masih embuh. Selama hidup orang berkutat pada materialisme dengan arogansinya, batinnya akan tetap embuh.
Ya Tuhan, mohon rahmat kesederhanaan hidup yang memungkinkan kami senantiasa mudah berterima kasih dan bersyukur kepada-Mu. Amin.
MINGGU BIASA XXVIII C/1
13 Oktober 2019
2Raj 5,14-17
2Tim 2,8-13
Luk 17,11-19
Posting Tahun 2016: Katanya Siap, Kok…
Categories: Daily Reflection