Entah Apa Yang Merasukimu

Apa salahnya orang melakukan validasi atau verifikasi ya kok Guru dari Nazareth ini malah mengecam orang yang meminta tanda sebagai generasi yang jahat? Bukankah kalau tidak ada tanda atau tandanya kacau itu malah hidup gak karuan karena yang salah dianggap benar dan yang benar malah dianggap salah?
Beberapa hari mengunjungi pulau sebelah timur Bangka membuat saya terpana, baik dalam arti positif maupun negatif.

Positifnya, Indonesia ini benar-benar sangat kaya dan indah. Konon penduduk di pulau ini tidak hanya sekitar setengah juta jiwa. Mereka sungguh beragam suku, bahasa, agamanya dan sejauh ini rukun sentausa aman damai, mungkin karena rombongan dengan atribut pembela agama belum masuk ke pulau ini. Katanya, aktivis agamanya sendiri menolak mereka membuka cabang di situ. Menyenangkan melihat aneka ragam orang hidup rukun.

Negatifnya, kekayaan Indonesia yang indah itu dieksploitasi sejak dulu kala. Dulu oleh penjarah Eropa, belakangan oleh orang Indonesia sendiri. Dari orang setempat saya mengerti bagaimana era Suharto benar-benar jadi era emas, tentu untuk keluarga Suharto dan kroni-kroninya dong. Konon ada hotel yang mangkrak di tahun 1998 karena itu milik anak Suharto. Bisa saya bayangkan, itu satu bisnis kecil anaknya, yang rupanya punya korelasi dengan kelengseran bapaknya sebagai presiden. Anak-anak presiden yang itu pasti gak mungkin amat cuma bisnis hotel [yang itu pun gak mungkin cuma di pulau kecil ini, di pulau lainnya ya pasti pating tlècèk]. Pasti ada bisnis lain yang mulus karena koneksi darah dengan presidennya.

Memang, positif negatif itu relatif terhadap sudut pandang. Petani yang diuntungkan oleh monopoli melihat positif. Karyawan hotel atau perusahaan yang di-PHK melihatnya negatif. Akan tetapi, di pulau kecil ini saya mendapat konfirmasi bahwa mengenai tanah yang tereksploitasi itu tak ada lagi positif-negatif. Terserah orang mau menilai positif atau negatif, tetapi kebutuhan pohon sawit akan air bisa diukur; reklamasi wilayah bekas eksploitasi tambang butuh waktu; kesulitan air bersih di musim kemarau tak bergantung pada orang irit atau boros air di musim hujan, dan seterusnya.

Kunjungan ke pulau kecil itu membuat saya menerawang betapa kekayaan Indonesia ini tidak membuatnya maju sebagai bangsa karena egoisme orang-orangnya sendiri yang berkelindan dengan mentalitas korup dengan payung kolusi dan nepotisme. Iya ini terawangan lama: KKN. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, memang itulah penyakit lama. Kalau orang memelihara penyakit seperti itu, validasi atau verifikasi bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan kelompok. Hal yang baik dipolitisasi, hal yang buruk disarungi agama, dan seterusnya sehingga orang tidak lagi bisa melihat tanda secara jernih.

Andai saja bumi pertiwi Indonesia ini bisa mengambil gitar dan bernyanyi, barangkali inilah lagu yang dinyanyikannya:

Bumi ini, kalau hancur, manusianya sendiri yang rugi, karena manusia belum bisa hidup tanpa bumi; sedangkan bumi, tanpa manusia, no problem. Tapi, begitulah manusia nan egois, mengkhianati bumi pertiwi dengan dalih suci, untuk menghancurkan dirinya sendiri. Entah apa yang merasukimu, Manusia!

Tuhan, izinkanlah kami menjadi tanda belas kasih-Mu. Amin.


SENIN BIASA XXVIII C/1
14 Oktober 2019

Rm 1,1-7
Luk 11,29-32

Senin Biasa XXVIII B/2 2018: Dendang Bantilang
Senin Biasa XXVIII A/1 2017: Percaya pada Sein?
Senin Biasa XXVIII C/2 2016: Hello, Farisi

Senin Biasa XXVIII B/1 2015: Apa Pun Agamanya

Senin Biasa XXVIII A/2 2014: Roh Apa Yang Bergentayangan?