Bukan pesan “cuci tanganlah sebelum makan” yang masuk ke benak saya setelah membaca teks bacaan hari ini, melainkan “wudu dululah”. Saudara-saudari saya umat Islam melakukannya untuk membersihkan diri dari hadas (ketidaksucian, dosa?) kecil sebelum salat. Tentu dengan mudah Anda bisa browsing untuk mengetahui bagaimana caranya melakukan wudu. Akan tetapi, yang menarik saya bukan detailnya, melainkan melihat wudu ini dari kacamata analogi permainan. Ini sudah saya uraian dalam Theory of Love, tapi gapapa deh saya bocorkan di sini dengan cara berbeda.
Pada saat orang belajar melakukan wudu, tentu ia perlu memperhatikan bagaimana wudu itu dilakukan dengan benar, memperhatikan kondisi air yang dipakai, bagian tubuh mana saja yang wajib dibasuh dengan air, bagaimana urutannya, dan seterusnya. Akan tetapi, kalau orang sudah fasih dengan wudu yang dipelajarinya itu, ia tidak akan melakukannya dengan kesadaran terhadap keadaan air, pembasuhan sampai siku tangan dan mata kaki, dan seterusnya. Itu sudah diandaikan terjadi, tidak lagi masuk dalam kesadaran karena kesadarannya (seharusnya) melampaui hal-hal teknis itu. Apa yang melampaui hal-hal teknis itu? Bergantung kondisi setiap orang.
Idealnya, IMHO, kesadaran orang beriman terarah pada hidup di hadirat Allah: melucuti aneka pikiran korup, jahat, culas, kebencian, dan sejenisnya. Tidak ada orang yang melakukan kejahatan terlebih dahulu melakukan ritual wudu. Akan tetapi, seperti sudah saya katakan tadi, kesadaran yang melampaui hal-hal teknis itu bergantung pada kondisi setiap orang. Yang menentukan bukan lagi wudu atau tidaknya, melainkan orientasi kesadaran pada saat wudu dan setelahnya. Kalau disposisi batin orangnya sendiri dipenuhi keserakahan, wudu yang dilakukannya tadi tidak mengorientasikan perhatiannya pada hidup di hadirat Allah, tetapi pada objek keserakahannya. Di situ orang menghidupi formalisme dan legalisme, tetapi tidak menghayati esensi wudunya.
Tidak mengherankan, kesalehan ritual bisa jadi berbanding terbalik dengan keadilan sosial karena rahmat yang dicurahkan kepada orang beriman berhenti di altar, di mimbar, di dalam tempat ibadat, dan seterusnya. Dalam kondisi seperti itu, kepentingan politik benar-benar bisa mengacaukan integritas hidup umat beriman. Semua bisa menyucikan diri di tempat ibadat (seharusnya), tetapi apakah kesucian itu hidup sampai di luar tempat ibadat, justru itulah persoalannya. Dengan begitu, di luar tempat ibadat orang bisa bersuara apa saja dan publik tak tahu lagi mana yang baik, benar, dan tepat.
Yang sekarang mendekati deadline ialah desakan kepada presiden untuk menerbitkan perppu KPK dengan aneka alasan. Sebagian kecil mungkin menentangnya dengan alasan yang rasional juga (Bukankah perppu itu pengganti undang-undang? Jadi mestinya mendesak presiden menerbitkan perppru dong #halah). Blog ini tidak diintensikan sebagai buzzer Jokowi, tetapi belajar dari wudu tadi, di hadapan Allah, tak seorang pun bisa menyombongkan dirinya. Presiden bukan Tuhan yang mahatahu, begitu juga KPK, DPR, dosen, mahasiswa, dan seterusnya. Presiden bisa jadi menghayati wudu sebelum dan sesudah salat, tetapi orang-orang di sekelilingnya, God knows.
Mari doakan orang-orang dalam lingkaran kekuasaan supaya dapat hidup di hadirat Allah. Amin.
SELASA BIASA XXVIII C/1
PW S. Teresia dari Yesus
15 Oktober 2019
Selasa Biasa XXVIII B/2 2018: Larung Agama ke Laut
Selasa Biasa XXVIII A/1 2017: Prebooming…
Selasa Biasa XXVIII C/2 2016: Maafkan Ayat Suci
Selasa Biasa XXVIII B/1 2015: Agama Topeng Monyet
Selasa Biasa XXVIII A/2 2014: Legislator Oke, Legalistik No
Categories: Daily Reflection