Beberapa hari yang lalu ada teror terhadap tradisi sedekah laut di (m)Bantul. Saya tak tahu apakah ada alasan teror selain interpretasi eksklusif agama. Kalau dibandingkan dengan kasus yang serupa sih tampaknya memang hanya alasan itu yang membuat sekelompok orang, atas nama Allah, hendak menghentikan tradisi budaya pesisir pantai itu. Ini memang sekelompok orang pemberani dalam hal mengatasnamakan Allah. Saya cuma berani mengatasnamakan Allah kalau memang yang saya lakukan bisa diterima audiens: cuma selama ibadat, ritual, perayaan, yang di dalamnya saya diberi otoritas untuk memimpin. Pada saat itu saya bisa mengatakan,”Atas nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus.” Di luar itu, saya mesti terus menerus mencari di mana bisa ditemukan kehadiran Allah dalam pernak-pernik kehidupan. Tradisi sedekah laut hanyalah satu dari pernak-pernik kehidupan.
Beberapa hari sebelum sedekah laut itu ada larung Sengkuni, yang tentu bukan tradisi, tetapi mesti memuat maksud tertentu. Selagi pelaku kegiatan itu masih hidup dan bisa ditanyai dan memang mengerti makna kegiatannya dan jujur menjawabnya, tentu maksud larung itu bisa diketahui dengan mudah: berharap supaya karakter Sengkuni itu dijauhkan dari ranah politik NKRI. Siapa yang punya karakter Sengkuni itu? Bisa saya, bisa Anda, bisa si itu tuh, dengan kadar yang berbeda-beda. Saya kira larung seperti ini tak menyalahi inspirasi agama mana pun, termasuk sedekah laut tadi. Dalam teks bacaan hari ini malah dikatakan begini: Berikanlah isinya sebagai sedekah dan sesungguhnya semuanya akan menjadi bersih bagimu.
Ironisnya, dalam tradisi sedekah laut itu katanya dilarung juga kepala kambing dan saya baru tahu bahwa kepala kambing itu dalam tradisi Jawa jadi simbol pikiran manusia yang penuh kebodohan, kelicikan, kemalasan. Tak mengherankan, yang membuat teror terhadap sedekah laut itu justru mereka yang disimbolkan oleh kepala kambing tadi: bodoh, licik, malas. Lha kok gak mereka aja yang dilarung ya? Ya sama aja Mo, kalau mereka dilarung, nanti malah kambing-kambingnya yang membuat teror!
Memang, orang bodoh-licik-malas cari gampangnya: menilai dan menghakimi semata dari apa yang kelihatan. Kasih menyan dan sujud di depan pohon berarti menyembah pohon. Buang kepala kerbau ke kawah berarti pemuja animisme-dinamisme (bikinan siapa sih itu istilah?). Menyebut banyak nama dewa berarti bukan penganut monoteisme.
Guru dari Nazareth mengundang orang beragama untuk berangkat dari kedalaman dan kembali menuju kedalaman. Memang itu berarti pergi ke ‘keluaran’, tetapi yang luar itu tak bisa jadi tambatan. Kalau yang luaran jadi tambatan, agama jadi fenomena sosial belaka, agama jadi korup dan agama korup pantas dilarung. Kapan orang beragama menghidupi agama sebagai fenomena sosial belaka? Saat ia berlagak seperti pengamat dari luar dan menilai bahwa dirinyalah yang benar, yang lebih baik, yang tak perlu belajar dari yang berbeda. Pada saat itu ia cuma melihat apa yang tersurat, dan tak mau tahu apa yang tersirat. Ia peduli pada seragam, tetapi tak menangkap makna dan konsekuensi dalam pribadi-pribadi yang diseragamkan.
Tuhan, mohon rahmat untuk senantiasa memurnikan hidup kami dalam terang Sabda-Mu. Amin.
SELASA BIASA XXVIII B/2
16 Oktober 2018
Selasa Biasa XXVIII A/1 2017: Prebooming
Selasa Biasa XXVIII C/2 2016: Maafkan Ayat Suci
Selasa Biasa XXVIII B/1 2015: Agama Topeng Monyet
Selasa Biasa XXVIII A/2 2014: Legislator Oke, Legalistik No
Categories: Daily Reflection