Religitainment

Kalau orang tidak punya pengalaman cinta yang utuh, agamanya hanyalah seperangkat hukum dan ketaatan kepada hukum itu membuat Allahnya jadi berhala. [Ini sudah saya katakan dalam posting Tampilanisme.] Tentu maksudnya bukan bahwa Allah itu mak cling berubah jadi batu berhala, melainkan bahwa orang beragama tadi memperlakukan Allahnya sebagai batu, yang tunduk pada hukum alam, dan diperlakukan sebagai objek yang terikat hukum sebab akibat. Beriman jadi garing karena gada seninya. Kalau beriman gak ada seninya, jadinya ya seperti orang Farisi dan ahli Kitab Suci yang dikritik oleh Guru dari Nazareth dalam teks bacaan hari ini.

Loh, bukankah mereka itu terbilang sebagai pemuka agama? Bukankah mereka itu orang beragama yang berupaya setia pada hukum agama dan Sabda Allah? Maunya Guru dari Nazareth ini apa, mosok orang berusaha menghayati hukum agama dan Sabda Allah masih saja dikritik dan dicela? Lha ya gapapa toh, mosok cuma karena berusaha njuk imun terhadap kritik? Kritik Guru dari Nazareth itu tidak berkenaan dengan maksud usaha penghayatan hukum agama dan Sabda Allahnya sendiri, tetapi dengan cara usaha itu direalisasikan. Kritiknya sangat jelas: kemunafikan. Itu adalah kata lain dari perselingkuhan intensi: agenda busuk nan tersembunyi karena mendompleng tindakan-tindakan saleh, suci, baik.

Kemarin dosen saya omong mengenai dakwahtainment, yang sejenis dengan televangelization, misalnya. Yang dikatakan, yang dipropagandakan jelaslah hal yang baik-baik, dengan mengutip ayat Kitab Suci segala [kisah Ahok kan kukenang]. Akan tetapi, ada apa di baliknya? Bisa kepentingan politik, bisa kepentingan pasar. Kalau dua kepentingan itu memakai corong agama, mati kowe!
Oooo, jadi kurang ajar juga ya pemuka agama macam begitu? Betul, tetapi kenapa pemuka agama bisa macam begitu? Karena pembelakang agamanya memberi peluang untuk itu, sama-sama memelihara perselingkuhan intensi: katanya ziarah, tapi pikirannya belanja; katanya butuh tuntunan, tetapi maunya berupa tontonan; katanya mau mendekatkan diri dengan hidup nabi, tapi pikirannya dipenuhi gengsi bin bossy. Agama diterima sejauh ia entertaining. Lha rak angel toh, maunya happy di hati, tapi perhatiannya berhenti pada sensasi.

Andaikanlah Anda hendak mendidik anak untuk hidup secara ekologis dengan cara membawa bekal makanan dari rumah sehingga tak jajan di warung dan dengan demikian mengurangi potensi sampah plastik. Saya berpesan, jangan lupa didiklah anak Anda untuk membersihkan wadah bekal makanannya juga. Kenapa? Tak ada gunanya ia berkoar-koar bergaya hidup ekologis tetapi mencuci wadah makanan saja dibebankannya pada orang lain. Ha njuk yang bergaya ekologis tuh siapa jal? Celakalah kamu juga, pemuka agama, sebab kamu meletakkan beban yang tak tertanggungkan kepada orang lain, tetapi kamu sendiri tidak menyentuh beban itu dengan satu jari pun!

Sekali lagi, celaan itu tak hanya berlaku bagi pemuka agama, tetapi juga pembelakang agama. Perkara Anda mau dicela sebagai pemuka atau pembelakang, itu pilihan Anda. Akan tetapi, sebaiknya, saya usulkan, sebisa mungkin jangan sampai Anda dicela karena kemunafikan itu. Lebih baik cari alasan lain untuk dicela.

Ya Allah, mohon rahmat keberanian untuk menanggung konsekuensi Sabda-Mu dalam hidup sehari-hari. Amin.


RABU BIASA XXVIII B/2
Peringatan Wajib S. Ignasius dari Antiokhia
17 Oktober 2018

Gal 5,18-25
Luk 11,42-46

Rabu Biasa XXVIII C/2 2016: Orang Merdeka Tak Mengancam
Rabu Biasa XXVIII B/1 2015: Beriman = Bermain

Rabu Biasa XXVIII A/2 2014: Iman City Tour