Beriman = Bermain

Hidup modern semestinya mempermudah orang untuk melakukan sesuatu dan memang modernitas teknik bertujuan mempermudah hidup manusia (meskipun ada kontradiksinya juga, mau simple malah jadi runyam karena tingkat ketergantungan yang begitu tinggi pada peranti tertentu). Kita bersyukur bahwa aneka kemudahan teknis bisa kita nikmati seiring perkembangan zaman, thanks to sekolah atau fakultas teknik! Tetapi, meskipun ilmu teknik itu bertujuan mempermudah hidup, mempelajari teknik itu sendiri tidak gampang. Silakan tanya pada mahasiswa teknik (terutama yang ber-IPK nasakom a.k.a. nasib satu koma)!

Iman kiranya punya logika yang mirip. Ilmu teologi yang merefleksikan iman tertentu, sebetulnya dimaksudkan supaya umat beriman lebih mudah mengakses sumber iman itu sendiri, tetapi kenyataannya, mempelajari teologi juga bukan perkara gampang. Nyatanya, ada saja orang yang studi teologi sampai selesai tahap doktoral tetapi ujung yang diraihnya adalah ateisme! Tak pernah ia berdoa (karena merasa tahu bahwa doanya adalah persis pekerjaannya); devosi pun ia tak punya (karena menganggap ritualisme itu nonsense belaka).

Kita tahu bahwa dalam birokrasi negeri ini, ungkapan ‘Kalau bisa dipersulit, mengapa mempermudahnya?” adalah sindiran terhadap birokrat yang mengeruk untung dari aneka administrasi. Tindakan heroik ialah upaya birokrat yang konsekuen merealisasikan “Kalau bisa dipermudah, mengapa mempersulitnya?” Tindakan heroik dalam hidup kerohanian juga kurang lebih sama: kalau bisa mempermudah hidup rohani, mengapa mempersulitnya? Akan tetapi, kembali lagi pada kontradiksi tadi: mempermudah hidup rohani pun tidak mudah!

Tentu ada yang dengan mudah mengatakan,”Hidup itu yang simple-simple aja, gak usah dibuat susah.” Easy going! Itu bisa saja dibuat oleh para juara lomba lari dari kenyataan, yang menutup mata dan telinga dan hati terhadap suatu filsafat permainan atau ungkapan Jawa ngono ya ngono ning aja ngono

Bacaan Injil hari ini menyodorkan kritik Yesus terhadap orang Farisi dan ahli Taurat yang terlalu menyederhanakan hidup beriman dengan sikap legalistik mereka: aturan amal, kolekte, liturgi, dan sebagainya. Apakah Yesus menolak amal, kolekte, liturgi, dan sebagainya? Pasti tidak! Ia mengkritik sikap beku orang yang membuat praktik itu tadi semua jadi harga mati. Pada saat itulah sarana dan tujuan hidup manusia terbolak-balik. Persis di situlah susahnya mempermudah hidup beriman.

Seperti ilmu teknik punya disiplin yang tidak mudah dipelajari, iman pun memiliki aturan main yang tak sesederhana seperti diinginkan orang Farisi atau ahli Taurat: asal sudah bikin aturan dan memenuhinya, ya selesai toh, gampang. Supaya beriman itu tidak rempong, orang perlu rempong mengasah kepekaannya akan karakter azas dan dasar hidupnya. Apa yang sudah ditetapkan sebagai tujuan, barangkali hanyalah sarana untuk tujuan lain yang lebih besar: mengakses Allah dalam segala hal. Kalau tidak, sarana itu mesti dimodifikasi, ditransformasi, atau malah diganti dengan sarana lain. Ini jadi seni bermain yang tak bisa diikuti dengan modal sikap legalistik.

Orang beriman mestilah bermain. Orang bermain, belum tentu beriman, apalagi yang bermain-main.

Tuhan, bantulah aku supaya semakin mudah mengakses diri-Mu juga dalam kesulitan hidupku. Amin.


HARI RABU BIASA XXVIII B/1
14 Oktober 2015

Rm 2,1-11
Luk 11,42-46

Posting Tahun Lalu: Iman City Tour